ANGKA KEMATIAN DI RUMAH SAKIT, ADA APA DENGANNYA, ….

 
Oleh: JONI RASMANTO, SKM, MKES*

Tulisan  ini  terinspirasi  dari  pesan  singkat  seorang sahabat  yang  sedang  mengikuti  RAPAT  di  BAPPEDA, entah  apa  pembahasannya  di  awal  tahun  ini,  yang  ikut semua  SKPD:  “barangkali  perihal  kinerja  atau pertanggungjawaban  SKPD  tahun  2011,  atau  perihal LAKIP”. Bukannya tidak mau nanya sama yang bersangkutan. 
Berbagai  indikator  jika  diberlakukan  dan  dijadikan  perhatian  berlaku  dan seharusnya  diberlakukan  dan  menjadi  perhatian  di  jajaran  pemerintah  daerah  dalam mengevaluasi kinerja pelayanan kesehatan baik itu di puskesmas dan atau di rumah sakit  daerah  dan  atau  di  Dinas  Kesehatan  Kabupaten.  Berbagai  kebijakan  berlaku untuk dan bagi semuanya, kebijakan DEPDAGRI barangkali perihal SPM dan LAKIP, DEPKEU barangkali tentang pengelolaan anggaran dan penerimaan retribusi, DEPKES jelas ke arah mutu pelayanan kesehatan.
Dari pengalaman kerja, setahu penulis; analisa data pelayanan kesehatan hanya sebatas  trend,  jika  membandingkan  dengan  standar  belumlah  seluas  dan  sedalam kajian ilmiah yang proporsional, adil dan komprehensif, hanya sebatas membandingkan dalam  porsi  angka  kuantitatif  yang  dideskripsikan  dengan  kwalitatif.  Apakah ini dikarenakan kompetensi sumber daya manusia yang ada di institusi tersebut atau ada beberapa “variable lain” yang menyebabkan hal itu tidak dilaksanakan.
Angka  kematian  adalah  indikator  hasil  kinerja  dari  sebuah  proses  pelayanan kesehatan, di rumah sakit ada kematian di bawah 48 jam dan ada kematian di atas 48 jam,  kematian  yang  terjadi  di  bawah  48  jam  diindikasikan  jika  terjadi  adalah  semata karena  faktor  tingkat  kegawatan  yang  berpihak  atau  berada  pada  pasien,  artinya kondisi  pasien  lebih  menentukan  kematiannya.  Selanjutnya  dapat  dijelaskan  bahwa peran proses pelayanan kesehatan dengan berbagai sumber dayanya dalam kematian di  bawah  48  jam  belumlah  selesai  dilaksanakan.  Obat  saja  yang  kita  makan  akan bereaksi terhadap  tubuh  dan  tubuh  bereaksi  terhadap  obat  memerlukan  waktu  lebih dari 4 jam, itupun jika kita dengan kondisi yang dapat dikatakan sehat.
Sedangkan  kematian  di  atas  48  jam  jika  terjadi  di  unit  pelayanan  kesehatan dimana proses pelayanan kesehatan sudah diberikan dengan kondisi standarisasi dari berbagai  unsur  manajemennya  masih  perlu  dipertanyakan  lagi.  Kenapa  demikian?.
Jawabnya adalah:
1.    keadaan  atau  perjalanan  penyakit  pasien  pada  waktu  masuk  rumahsakit sudah  sedemikian  lanjut,  sehingga  metoda-metoda  pelayanan  medis  yang efektif  tidak  ada  (tidak  diinginkan  oleh  pasien  dan  atau  oleh  anggota keluarganya yang bertanggungjawab), dan kematian merupakan akibat yang sudah diperkirakan sebelumnya.
2.    hasil  pemeriksaan  catatan  medik  menunjukkan  bahwa  kematian  jelas merupakan  akibat  langsung  dari  campur  tangan  dokter  yang  merawatnya, dari kegagalan untuk mendiagnosis dengan tepat atau pada waktunya, atau ada faktor dari Sistem, Input, Proses dan Luaran Pelayanan Kesehatan rumahsakit.
3.    catatan medik  memperlihatkan  bahwa  kejadian  penyebab  yang mengakibatkan kematian sewajarnya tidak dapat diperkirakan.
4.    sebab  kematian  sedemikian  rupa  sehingga  sewajarnya  dapat  diperkirakan sebelumnya  dan  apa  yang  ditulis  (tertulis)  dalam  catatan  medik membuktikannya.  Meskipun  kejadian  penyebab  sebenarnya  dapat diperkirakan  sebelumnya  dan  usaha-usaha  pencegahan  yang  diketahui sudah dilakukan dengan tepat dan pada waktunya (kecuali apabila ada bukti bahwa usaha itu tidak diingini), kejadian penyebab tetap terjadi juga.
5.    kejadian penyebab sewajarnya dapat diperkirakan hanya dengan pengertian bahwa  mereka  yang  bertanggung  jawab  terhadap  perawatan  pasien  harus waspada  dan  mengamati  tanda-tanda  serta  gejala-gejala  awal  dari kemungkinan  permulaan  komplikasi-komplikasi  atau  kegagalan-kegagalan, supaya  dapat  sembuh  secara  normal. 
Pembenaran pembenaran dalam kategorii ini dapat berdasarkan atas apa yang tertulis dalam cacatan dokter (catatan medik) dan atau catatan perawat, yaitu:
a.  pengamatan  profesional  dengan  atau  tanpa  menggunakan  peralatan kesehatan  yang  tersedia  yang  dilakukan  terus  menerus  sehingga permulaan penyakit dapat dikenal pada waktunya, ada komunikasi pada waktunya, diagnosis dan usaha usaha responsif tampaknya tepat, tetapi kematian terjadi  juga. 
b.  Walaupun  pengamatan  profesional  yang  terus  menerus  dilakukan  dan tepat seperti yang tertulis dalam catatan medik, kejadian penyebab timbul dalam keadaan tanda-tanda serangan awal tidak ada atau menyesatkan, sehingga  kegagalan  dari  usaha  apa  saja  yang  diberikan  dapat dibenarkan.

Upaya validasi hasil check list dilakukan wawancara mendalam dengan 5 (lima) materi  pokok,  yaitu  audit, rekam medik, PSO,  catatan  dokter/catatan  perawat  dan kematian  pasien  terhadap  tenaga  kesehatan  di  instalasi  ranap.  Jawaban dari wawancara  ini  diolah  secara koding memakai  opencode software untuk  mengetahui pembenaran atas check list kelengkapan rekam medik dan penyimpangan kematian.
Kematian  dari  analisa ini adalah  kematian  di atas  48  jam  yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan. Untuk kematian yang tidak dibenarkan, informasi kualitatif dari pendalaman kasusnya dapat dijadikan informasi actual, factual dan komprehensif untuk perbaikan proses pelayanan kesehatan guna mewujudkan mutu pelayanan kesehatan yang sama-sama kita harapkan dapat terwujud.
Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh manusia, namun demikian kematian juga merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan yang penting. World  Health  Organization  (WHO)  menyatakan  bahwa  dari  tahun  2005-2010 diperkirakan  terdapat  850  kematian  per  100.000  penduduk  yang  terjadi  setiap tahunnya. (WHO, 2010). Di Inggris dan Wales pada tahun 2005 lebih kurang 73% dari total kematian terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit (RS).  Tingginya angka kematian di RS merupakan pertanda akan kemungkinan adanya masalah mutu pelayanan yang memerlukan tindakan perbaikan, hal ini ditunjukan antara lain dalam buku “to err is human” dari IOM maupun dari penelitian yang dilakukan oleh Hayward  (2001) yang  mengungkapkan bahwa kurang lebih 22,7% dari kematian yang terjadi di RS sebenarnya dapat dihindarkan dengan perawatan optimal.
Dalam upaya meningkatkan perawatan yang optimal, audit kematian sering digunakan sebagai alat untuk mengembangkan strategi  penurunkan angka kematian, bahkan  audit  kematian  sudah  digunakan  oleh  Florence  Nightingale  pada  abad  19 (Wright, et al., 2006). Dengan audit kematian dapat ditemukan variasi yang luas dari penyebab  mortalitas  di  rumah-sakit,  beberapa  sebagai  akibat  dari  komplikasi  yang diderita  oleh  pasien,  namun  beberapa  kasus  lain  tidak  dapat  dijelaskan  penyebab kematian dan menjadi cerminan dari kualitas pelayanan (Jarman  et al., 2005).
Tingginya angka kematian bukanlah merupakan masalah yang tidak dapat diatasi. Beberapa  intervensi  telah  dikembangkan  untuk  menyusun  dan  menerapkan  sebuah program  yang  dapat  menurunkan  angka  kematian.  Salah  satu  yang  tercatat  pernah dilakukan  adalah  di  Bradford  Teaching  Hospital  pada  tahun  2002,  melalui  sebuah Hospital Mortality Reduction Programme. Program  ini berhasil  menurunkan sebanyak 905 kematian selama periode 2002-2005 atau dari 94,6% kematian pada tahun 2001 menjadi 77,5% pada tahun 2005. Selain itu Institute for Healthcare Improvement  (IHI) membuat  program untuk  menyelamatkan  100.000 nyawa  dengan  menurunkan  angka kematian  pasien  rawat  inap  di  rumah  sakit  di  Amerika  dikenal  dengan  nama  The 100.000 Lives Campaign.

1. Audit Kematian
Berbagai  istilah  digunakan  untuk  kegiatan  evaluasi  kasus-kasus  kematian  yang terjadi  di  sarana  pelayanan  kesehatan  termasuk  di  rumah  sakit  antara  lain:  Audit Kematian, Mortality Audit, Mortality Review, Mortality Meeting, Death Conference, Review of Death, Expert Mortality Panel. Evaluasi tersebut terutama untuk mengidentifikasi  apakah  kematian  yang  terjadi  merupakan  kematian  yang  dapat dihindari/avoidable death atau  kematian  yang  tidak  dapat  dihindari/inevitable  death .
Beberapa  penelitian  menggambarkan  banyaknya  kematian  yang  dapat  dicegah  atau yang seharusnya tidak terjadi, sebanyak 44.000 sampai dengan 98.000 kematian per tahun  di  Amerika  (IOM,  1999)  atau  11%  kematian  di  ICU  membuat  kegiatan  audit kematian dinilai perlu dilakukan secara rutin. (VMIA, 2010)
Berbagai metode dapat dilakukan pada audit kematian, namun demikian metode dapat digolongkan menjadi 2 metode.  Metode  pertama  disebut  sebagai  metode tradisional  ( mortality  meeting)  atau  karena  seringkali  juga  membahas  mengenai penyakit tertentu sehingga juga disebut sebagai  morbidity and mortality meeting (M&M meeting), metode ini sudah dikembangkan sejak tahun 1910 an terutama oleh dokter bedah dan anesthesi di Amerika untuk mengidentifikasi adanya medical error. Metode ini  kemudian  berkembang  lebih  kearah  pendidikan  kedokteran  (terutama  pendidikan dokter spesialis) dimana kasus kematian yang dipresentasikan dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan ataupun  kasus  yang dianggap menarik  sehingga  tidak semua kasus kematian dievaluasi. Pada pelaksanaannya M&M meeting ini juga sering menghabiskan  waktu  lebih  banyak  untuk  presentasi  kasus  dan  tanggapan  dari narasumber (konsulen) sehingga tidak banyak proses diskusi dan indentifikasi masalah dalam sistem pelayanan hingga usulan upaya perbaikan (VMIA, 2010)
Metode kedua adalah dengan pendekatan terstruktur dengan kompen-komponen:
Pengumpulan dan penyajian data kematian yang dikumpulkan secara teratur (meliputi data demografi, data kontinue, angka/rate kematian, perbandingan dengan RS lain, per unit/jenis  penyakit;  per  individu  pasien);  Pengambilan  dan  analisa  data  klinik  kasus kematian  ( clinical  mortality  information );  Identifikasi  pola  klinik;  Penerapan  perbaikan sistem atau praktek medik/klinik; dan Evaluasi. 
Terdapat  beberapa  cara  audit  kematian  melalui  pendekatan  terstruktur  ini,  ada yang simpel seperti dilakukan Behal (2009) yang mengevaluasi kematian yang terjadi dengan hanya menjawab dua pertanyaan pokok: Pertama tentang bagaimana tingkat keparahan dan  kompleksitas  kondisi/penyakit  pasien?  Kedua tentang kemungkinan terdapatnya masalah mutu pelayanan yang terkait dengan penerapan evidence based practices atau  sistem.  Atau pendekatan yang lebih  kompleks  seperti  yang  dilakukan oleh VMIA ataupun di Western Australia dimana seluruh kasus kematian diidentifikasi terlebih  dahulu  karekteristiknya  seperti  umur,  jenis  kelamin,  diagnosa  masuk,  lama perawatan,  hari  meninggal,  dan  sebagainya.  Kemudian diikuti dengan identifikasi adanya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) melalui trigger tools. Apabila terdapat 1 atau lebih trigger maka kasus kematian tersebut dibahas ditingkat  peer  review  untuk ditentukan apakah merupakan kasus kematian yang dapat dicegah atau tidak Kematian dikatakan tidak dapat dicegah bila memenuhi salah satu kriteria berikut:
Suatu kasus  terminal  yang tidak dapat  kembali  baik; Keadaan penyebab  tidak dapat diatasi  walaupun  diagnosis  yang  dibuat  sudah  tepat;  Pengobatan  sudah  diberikan dengan cara  yang memadai dan tepat  pada waktunya.  Sedangkan kematian disebut dapat  dicegah  bila:  Penyebab  kematian  tidak  didukung  dengan  data/bukti  yang  ada; Tindakan pencegahan munculnya penyebab kematian tidak adekuat; Pencegahan tidak dilakukan; Penyebab kematian  tidak  diketahui;  Diagnosis  terlambat  ditegakkan; Pengobatan atas diagnosis tidak adekuat

2. Upaya menurunkan angka kematian rumah sakit 
Dari  data  agregat  seluruh  kasus  kematian  yang  diaudit  maka  dapat  diidenfikasi besarnya kasus kematian yang seharusnya dapat dicegah, dilanjutkan dengan diskusi untuk  menentukan  penyebab  masalah  dan  tindak  lanjut  yang  memiliki  potensi  untuk menurunkan  angka  kematian.  Upaya  menurunkan  angka  kematian  rumah  sakit merupakan salah satu kunci penting dalam peningkatan  patient safety (Behal & Finn, 2009).  Banyak  program  yang  telah  dikembangkan  oleh  berbagai  intitusi  untuk mendukung  upaya  menurunkan  angka  kematian  rumah  sakit,  antara  lain: Hospital Mortality Reduction Programme (HMRP), dikembangkan oleh oleh Bradford Teaching Hospital pada tahun 2002 dengan komitmen dari seluruh pimpinan dan klinisi disana untuk mengeliminasi seluruh kematian yang tidak perlu terjadi (Wright et al., 2006). 
Program ini dimulai dengan melakukan tinjauan/audit  terhadap seluruh kematian yang  terjadi  di  rumahsakit.  Hasil  audit  menunjukkan  penyebab  kamatian  yang  tidak seharusnya  terjadi  disebabakan  karena  sistem  pengamatan  klinis  yang  suboptimal, infeksi  yang  didapat  di  rumahsakit  serta  kesalahan  pengobatan.  Strategi  dan pendekatan yang kemudian dilaksanakan adalah: memperbaiki sistem observasi klinis dengan  pembuatan Modified  Early  Warning  Score  berupa  instrumen  untuk  menilai tingkat  keparahan  kondisi  klinis  pasien  dan  kapan  intervensi  diperlukan;  Membuat panduan  untuk  kasus-kasus  teminal,  pelatihan  tim,  dan  pelatihan  perawat  untuk melakukan  home  care,  sehingga  pasien-pasien  stadium  terminal  dapat  dirawat dirumah,  dibandingkan  harus  meninggal  di  rumahsakit; 
Pengendalian Infeksi, berupa kampanye mencuci tangan, pelatihan  kewaspadaan  untuk  para  karyawan  di  rumah sakit,  peningkatan  kebersihan  bangsal,  pelatihan  mengenai  infeksi,  panduan penggunaan  antibiotik  di  rumah  sakit,  peningkatan  surveilans  dan  umpan  balik mengenai tingkat infeksi. Program untuk peningkatan Keselamatan pasien, diantaranya review dari peresepan dan administrasi obat-obat yang mempunyai risiko tinggi seperti warfarin, heparin, potasium dan metotreksat.  Selain itu dikembangkan juga program untuk memonitor efek samping obat dan adverse drug events.
Program  lain  adalah  The  100.000  Lives  Campaign, dipelopori  oleh  Institute  for Healthcare Improvement (IHI) yaitu dengan kampanye untuk menyelamatkan 100.000 nyawa  dengan  menurunkan  angka  kematian  pasien  rawat  inap  di  rumah  sakit  di Amerika.  Program utama  pada  kampanye  ini  adalah  dengan  meningkatkan implementasi dari 6 program berbasis bukti, terdiri dari 6 program berbasis bukti, yaitu: Tim Reaksi Cepat; Rekonsiliasi Medikasi; Pencegahan infeksi jalur sentral; Pencegahan infeksi di tempat pembedahan; Pencegahan pneumonia karena pemakaian ventilator; dan Perawatan berbasis bukti untuk infark myocard.
Di Indonesia saat ini dan beberapa tahun sebelumnya kegiatan akreditasi rumah sakit merupakan salah satu upaya untuk menegakan standarisasi dari semua unsur manajemen pelayanan kesehatan di rumah sakit dan atau di puskesmas. Program ISO, SNi dan lain sebagainya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan jika saja semua stake holder berperan dan mau berkeringat karenanya.

Bagaimana rumah sakit anda menyikapi kematian, ………

Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua, amin

* Penulis adalah Ketua Akreditasi RSD Kol. Abundjani Bangk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengalan antre BBM

SEHARUSNYA INSENTIF

ANALISA INSTRUKSIONAL