Evaluasi Dalam Pembelajaran
Evaluasi Dalam Pembelajaran
1. Pengertian Evaluasi dan Pengukuran
Ada tiga hal yang saling berkaitan dalam kegiatan evaluasi pembelajaran yaitu evaluasi, pengukuran dan tes. Ketiga istilah itu sering disalah artikan sehingga tidak jelas makna dan kedudukannya. Gronlund mengemukakan evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dari pengumpulan, analisis dan intrepretasi informasi/data untuk menentukan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran. Pengukuran adalah suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka mengenai tingkatan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh individu (siswa). Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel prilaku [1]. Sejalan dengan pendapat di atas, Hopkins dan Antes mengemukakan evaluasi adalah pemeriksaan secara terus menerus untuk mendapatkan informasi yang meliputi siswa, guru, program pendidikan dan proses belajar mengajar untuk mengetahui tingkat perubahan siswa dan ketepatan keputusan tentang gambaran siswa dan efektivitas program [2]. Pengukuran adalah suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka berdasarkan hasil pengamatan mengenai beberapa ciri (atribute) tentang suatu objek, orang atau peristiwa [3].
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, dan tes merupakan salah satu alat atau bentuk dari pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (berupa angka-angka) tentang kemajuan belajar siswa (learning progress) sedangkan evaluasi atau penilaian bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), dapat pula didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description). Yang didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) dan bukan di dasarkan kepada hasil pengukuran (non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu objek yang dinilai.
Mursell mengatakan ada tiga hal pokok yang dapat di evaluasi dalam pembelajaran, yaitu (a) hasil langsung dari usaha belajar, (b) transfer sebagai akibat dari belajar, dan (c) proses belajar itu sendiri [4]
Hasil dari usaha belajar nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku, baik secara subtantif maupun secara komprehensif. Perubahan itu ada yang dapat diamanati secara langsung ada pula yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan itu juga ada yang terjadi dalam jangka pendek ada pula yang terjadi dalam jangka panjang. Namun demikian, bagaimanapun baiknya alat evaluasi yang digunakan hanya mungkin dapat mengungkap sebagian tingkah laku dari keseluruhan hasil belajar yang sebenarnya. Evaluasi yang baik harus menilai hasil-hasil yang autentik dan hal ini dilakukan dengan mengetes hingga manakah hal itu dapat ditransferkan. Evaluasi harus dilakukan dengan tepat, teliti dan objektif terhadap hasil belajar sehingga dapat menjadi alat untuk mengecek kemampuan siswa dalam belajarnya dan mempertinggi prestasi belajarnya. Di samping itu evaluasi dapat menjadi alat pengontrol bagi cara mengajar guru, serta dapat membimbing murid untuk memahami dirinya (keunggulan dan kelemahannya).
2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pembelajaran
Mursell mengemukakan bahwa evaluasi menurut syarat-syarat psikologis bertujuan agar guru mengenal siswa selengkap mungkin dan agar siswa mengenal dirinya sesempurna-sempurnanya. Di samping itu,evaluasi juga berguna untuk meningkatkan hasil pengajaran, karena itu evaluasi tidak dapat dipisahkan dari belajar dan mengajar, dan intinya adalah penilaian belajar dengan tujuan untuk memperbaikinya. Penilaian harus dilakukan oleh semua yang bersangkutan, bukan hanya guru tapi juga siswa sendiri, dan harus ditinjau dari keseluruhan [5]. Berdasarkan hasil evaluasi, guru dapat mengetahui sampai di mana penguasaan bahan pelajaran atau kecakapan masing-masing siswa. Selain itu evaluasi juga dapat digunakan guru sebagai alat untuk memperbesar motivasi belajar siswa, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Evaluasi dalam pembelajaran dapat membantu guru dalam mengambil keputusan-keputusan yang epektif dalam pembelajaran. Gronlund mengemukakan ada tiga jenis keputusan yang dapat dilakukan oleh guru berkaitan dengan proses evaluasi (a) keputusan pada permulaan pengajaran (b) keputusan pada saat pengajaran berlangsung, dan (c) keputusan pada akhir pembelajaran [6]. Keputusan pada awal pengajaran berkaitan dengan informasi mengenai sejauh mana kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki siswa untuk memulai pelajaran (entering behavior), dan sejauh mana bahan pelajaran yang akan diberikan telah diketahui siswa (pre-test). Keputusan pada saat pengajaran berlangsung berkaitan dengan tugas-tugas belajar mana yang dapat dilakukan oleh siswa dengan baik, dan tugas-tugas mana yang memerlukan pertolongan (perlu dibantu), siswa mana yang menghadapi kesulitan dalam belajarnya sehingga memerlukan program remedial. Keputusan pada akhir pengajaran berkaitan dengan informasi tentang siswa manakah yang telah menguasai bahan pelajaran yang diberikan serta dapat melanjutkan kepada program pengajaran berikutnya, dan nilai apa yang harus diberikan kepada setiap murid.
Selanjutnya Gronlund mengemukakan bahwa evaluasi dalam pembelajaran dapat membantu siswa (a) memperkuat motivasi belajarnya, (b) memperbesar daya ingat dan transfer belajarnya, (c) memperbesar pemahaman siswa terhadap keberadaan dirinya, dan (d) memberikan bahan unpan balik tentang keefektifan pembelajaran.[7]
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan evaluasi dalam pembelajaran adalah meliputi (a) untuk melihat produktivitas dan efektivitas kegiatan belajar mengajar, (b) untuk memperbaiki, dan menyempurnakan kegiatan guru, (c) untuk memperbaiki, menyempurnakan dan mengembangkan program belajar mengajar, (d) untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi oleh siswa selama kegiatan belajar dan mencarikan jalan keluarnya, dan (e) untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya. Adapun fungsi utama evaluasi dalam pembelajaran dapat dikelompokan ke dalam empat fungsi, yaitu (a) formatif, evaluasi dapat memberikan unpan balik bagi guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi siswa yang belum menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari, (b) sumatif, yaitu dapat mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, menentukan angka nilai sebagai bahan keputusan kenaikan kelas dan laporan perkembangan belajar siswa, serta dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, (c) diagnostik, yaitu dapat mengetahui latar belakang siswa (psikologis, fisik, dan lingkungan), yang mengalami kesulitan belajar, dan (d) seleksi dan penempatan, yaitu hasil evaluasi dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi dan menempatkan siswa sesuai dengan minat dan kemampuannya [8].
3. Prinsip-prinsip Umum Evaluasi dalam Pembelajaran
Prinsip-prinsip evaluasi dalam pembelajaran sangat diperlukan sebagai panduan dalam prosedur pengembangan evaluasi, karena jangkauan sumbangan penilaian dalam usaha perbaikan pembelajaran sebagian ditentukan oleh prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan pemakaiannya. Berkaitan dengan prinsip-prinsip penilaiai tersebut, Gronlund mengemukakan enam prinsip penialaian, yaitu tes hasil belajar hendaknya (1) mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, (2) mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan-bahan yang tercakup dalam pengajaran, (3) mencakup jenis-jenis pertanyaan/soal yang paling sesuai untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan, (4) direncanakan sedemikian rupa agar hasilnya sesuai dengan yang akan digunakan secara khusus, (5) dibuat dengan reliabilitas yang sebesar-besarnya dan harus ditafsirkan secara hati-hati, dan (6) dipakai untuk memperbaiki hasil belajar.[9] Sejalan dengan pendapat di atas, Nana Sujana mengemukakan bahwa penilaian hasil belajar hendaknya (a) dirancang sedemikian rupa sehingga jelas kemampuan yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian dan iterpretasi hasil penilaian, (b) menjadi bagian yang integral dari proses belajar mengajar, (c) agar hasilnya obyektif, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif, (d) diikuti dengan tindak lanjutnya [10].
Tujuan pokok evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Indikator keefektifan itu dapat dilihat dari perubahan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik . Perubahan tingkah laku yang terjadi itu dibandingkan dengan perubahanan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan isi program pembelajaran. Oleh karena itu, instrumen evaluasi harus dikembangkan bertitik tolak kepada tujuan dan isi program, sehingga bentuk dan format tes yang dikembangkan sesuai dengan tujuan dan karakteristik bahan ajar serta proporsinya sesuai dengan keluasan dan kedalaman materi pelajaran yang diberikan. Hasil evaluasi harus dianalisis dan ditafsirkan secara hati-hati sehingga informasi yang diperoleh betul-betul akurat mencerminkan keadaan siswa secara objektif. Informasi yang objektif dapat dijadikan bahan masukan untuk perbaikan proses dan program selanjutnya. Evaluasi dalam pembelajaran tidak semata-mata untuk menentukan ratting siswa melainkan juga harus dijadikan sebagai teknik atau cara pendidikan. Sebagai teknik atau alat pendidikan evaluasi pembelajaran harus dikembangakan secara terencana dan terintegratif dalam program pembelajaran, dilakukan secara kontinue, mengandung unsur paedagogis, dan dapat lebih mendorong siswa aktif belajar.
RUANG LINGKUP ASPEK PENILAIAN
Hasil belajar siswa, bila diklasifikasikan berdasarkan taxonomy Bloom meliputi; aspek kognitif, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, penilaian hasil belajar juga harus bersifat komprehensif (menyeluruh) meliputi ketiga aspek di atas. Disamping itu, proses belajar mengajar (pembelajaran) yang ditempuh oleh guru dan siswa juga harus mendapat perhatian dalam penilaian ini. Sebagai bahan masukan untuk perbaikan proses pembelajaran berikutnya.
Secara umum bentuk-bentuk soal yang digunakan untuk menilai aspek kognitif dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk soal, yaitu (a) soal bentuk pilihan ganda, (b) soal bentuk benar salah, (c) soal menjodohkan, (d) uraian /jawaban singkat, dan (e) soal bentuk uraian bebas ( free essay). Dilihat dari segi cara atau pola jawaban yang diberikan, soal dapat dibedakan ada soal yang telah disediakan jawabannya, peserta tes tinggal memilih jawaban tersebut (pilihan ganda, benar salah, menjodohkan) dan ada soal yang tidak disediakan jawabannya (uraian). Kemudian dilihat dari segi cara pemberian skornya, dibedakan ke dalam soal yang bersifat objektif dan soal yang bersifat subjektif.
Sikap merupakan bagian dari hasil belajar, dengan demikian sikap dapat dibentuk, diarahkan, dipengaruhi dan dikembangkan. Sikap seorang siswa menentukan bagaimana ia bereaksi terhadap situasi yang dihadapi dan menentukan apa yang dicari dan diperjuangkan dalam kehidupannya. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek tersebut muncul setelah ia mempelajari, mengamati dan mengenali objek itu. Ada dua kemungkinnan sikap individu terhadap suatu objek yang dipelajarinya, sikap positif atau sikap negatif. Sikap positif muncul apabila individu itu memandang objek tersebut bernilai dan akan muncul sikap negatif apabila individu memandang objek tersebut bukan saja tidak bernilai, juga mmerugikan. Sikap siswa dapat dibentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang, imitasi (peniruan), identifikasi (mengenali secara mendalam) dan sugesti.
Untuk mengukur hasil belajar aspek sikap, paling tepat menggunakan instrumen sekala sikap. Yaitu sejenis angket tertutup dimana pertanyaan/pernyataan mengandung sifat nilai-nilai sikap yang menjadi tujuan pengajaran. Salah satu jenis sekala sikap yang banyak digunakan adalah sekala Likert. Ini saya link dengan: http://daps.bps.go.id/file_artikel/100/SKALA%20LINKERT.pdf ; http://id.wikipedia.org/wiki/Skala_Likert ; http://www.damandiri.or.id/file/luvikurniasariunairbab4.pdf
Penilaian penampilan (keterampilan) berkenaan dengan hasil pengajaran yang berkaitan dengan aspek keterampilan. Seperti halnya dengan jenis penilaian yang lain, hakekat penilaian penampilan terutama ditentukan oleh karakteristik hasil belajar yang akan diukur. Penilaian penampilan mengacu kepada prosedur melakukan suatu kegiatan dan atau mengacu kepada hasil yang dicapai dari suatu kegiatan. Dengan kata lain, mengukur tingkat kemahiran tingkat keterampilan seseorang tentang suatu kegiatan bisa dilihat pada saat seseorang sedang melakukan kegiatan atau dilihat dari hasil/produk dari kegiatan tersebut.
Walaupun pengukuran pengetahuan dapat menggambarkan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu kegiatan dalam situasi tertentu, namun penilaian penampilan diperlukan untuk menilai kemampuan yang sebenarnya. Meskipun penilaian penampilan amat diperlukan, namun seringkali diabaikan dalam penilaian hasil belajar. Hal ini disebabkan : Pertama, banyak guru/penilai yan beranggapan bahwa untuk mengukur penampilan peserta didik cukup dilakukan melalui tes pengetahuan saja. Padahal yang sesungguhnya, tes pengetahuan hanya tepat jika penilai ingin mengukur apa yang diketahui peserta didik tentang sesuatu, sedangkan jika ingin mengetahui sejauhmana kemahiran peserta didik didalam menampilkan suatu kegiatan, yang harus digunakan adalah tes penampilan. Dengan demikian skor tes pengetahuan jelas tidak dapat dipakai untuk menggambarkan keterampilan penampilan peserta didik. Kedua, pelaksanaan penilaian relatif lebih sukar dibandingkan penilaian terhadap aspek pengetahuan. Tes penampilan memerlukan waktu lebih banyak untuk mempersiapkan dan melaksanakannya serta pemberian skornya sering subjektif dan membebani.
Mutu hasil penilaian penampilan akan sangat tinggi apabila menempuh prosedur yang benar dan sistematis. Adapun prosedur penilaian penampilan secara umum meliputi : (l) memilih topik / pokok bahasan, (2) merumuskan tujuan pembelajaran/pelatihan, (3) mengidentifikasi penampilan yang hendak diukur, (4) memilih jenis tes yang digunakan, (5) merumuskan instruksi (suruhan) kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik, dan (6) membuat format penilaian.
Penilaian terhadap proses seringkali diabaikan, setidaknya tidak mendapat porsi yang seimbang dengan penilaian terhadap hasil. Padahal pendidikan tidak berorientasi kepada hasil semata, tetapi juga kepada proses. Terlebih-lebih saat ini sedang digalakan sistem pembelajaran yang menekankan kepada keterampilan proses, dimana kegiatan siswa di dalam mencari dan mengolah informasi materi pelajaran mendapat porsi yang sangat tinggi (student centre). Penilaian terhadp hasil belajar semata tanpa menilai proses, cenderung siswa menjadi kambing hitam kegagalan pendidikan. Padahal tidak menutup kemungkinan penyebab kegagalan itu adalah lemahnya proses pengajaran, dimana guru sebagai penanggung jawabnya.
Tujuan penilaian proses belajar mengajar lebih ditekankan kepada perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar, terutama berkaitan dengan efisiensi, efektiivitas dan produktivitas kegiatan tersebut dalam mencapai tujuan pengajaran. Teknik dan instrumen yang sering diigunakan untuk menilai proses ini adalah teknik observasi.
LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN PENILAIAN PEMBELAJARAN
Agar dapat memperoleh hasil yang efektif penilaian hasil belajar perlu direncanakan secara sistematis sehingga jelas abilitas yang hendak diukur, materi, alat dan interpretasi penilainnya. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan evaluasi hasil belajar yaitu , (1) pengambilan sampel dan pemilihan butir soal, (2) tipe tes yang akan digunakan, (3) aspek yang akan diuji, (4) format butir soal, (5) jumlah butir soal, (6) distribusi tingkat kesukaran butir soal. Empat langkah pokok dalam pengembangan penilaian pembelajaran yaitu (1) menentukan tujuan tes, (2) mengidentifikasi hasil belajar yang akan diukur, (3) membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi tes), dan (4) menulis soal yang relevan dengan kisi-kisi tes. Kemudian dalam menentukan bentuk soal mana yang akan digunakan, perlu mempertimbngkan hal-hal berikut (1) karakteristik mata pelajaran yang akan diujikan, (b) tujuan khusus pembelajaran yang harus dicapai siswa, (3) tipe informasi yang dibutuhkan dari tujuan evaluasi, (4) usia dan tingkat perkembangan mental siswa yang akan mengikuti tes, dan (5) besarnya kelompok siswa yang akan mengikuti tes .
Kualitas tes khususnya yang berkaitan dengan validtas dan reliabilitas tes, banyak ditentukan oleh prosedur yang ditempuh dalam pengembangannya. Mulai dari penentuan tujuan penilaian, pengambilan sampel bahan tes, penentuan abilitas yang hendak diukur, penentuan bentuk dan format tes, penggunaan bahasa dan kalimat yang digunakan dalam penulisan butir soal, teknik pengolahan dan analisis hasil penilaian. Karakteristik tujuan dan materi pelajaran juga menentukan bentuk dan format tes yang harus dikembangkan. Mengukur kemampuan aspek pengetahuan berbeda caranya dengan mengukur kemampuan aspek keterampilan dan sikap, demikian pula mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran bahasa berbeda dengan mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran ilmu pasti. Adapun langkah-langkah umum pengembangan alat penilaian adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kompetensi, pokok bahasan dan sub pokok bahasan serta tujuan pengajaran
Pada tahap ini guru menginventarisir kompetensi apa yang diharapkan dimiliki oleh siswa, pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang telah diberikan kepada siswa serta tujuan khusus maupun tujuan umum dalam setiap bidang studi/mata pelajaran dalam satuan waktu tertentu sesuai dengan peruntukan test. Misalnya, satu catur wulan, satu tahun atau satu satuan jenjang pendidikan seperti EBTA.
2. Menentukan sample aspek kemampuan yang akan diukur
Dari sekian banyak pokok bahasan/sub pokok dan tujuan pengjaran, diambil sebagian unuk dikembnagkan ke dalam alat penelitian (test) sesuaui dengan jumlah soal yang dibutuhkan dan waktu yang tersedia untuk test tersebut. Penentuan sample tersebut harus dilakukan dengan cermat sehingga dapat mewakili atau mencerminkan ruang lingkup kemampuan siswa yang sebenarnya.
3. Membuat tabel spesifikasi atau kisi-kisi test
Pada intinya kisi-kisi test ini merupakan gambaran mengenai ruang lingkup dan isi dari apa yang akan ditestkan, serta memberikan perincian mengenai penyebaran soal-soal dalam setiap jenjang /aspek kemampuan ke dalam bentuk soal yang akan dikembangkan (pilihan ganda, menjodohkan, benar salah atau uraian). Kisi-kisi ini disusun berdasarkan hasil penyampelan ruang lingkup materi test yang telah ditetapkan pada langkah kedua ( poin b ).
Format kisi-kisi beragam bentuknya, namun pada intinya menyangkut unsur-unsur; identitas sekolah dan bidang studi, tujuan umum, pokok/sub pokok bahasan yang akan ditestkan, bentuk soal yang akan dikembangkan, dan jumlah soal atau panjang test. Format kisi-kisi ini biasanya berbentuk matrik.
4. Penulisan soal
Mengacu pada kisi-kisi yang telah dibuat, langkah selanjutnya adalah menulis soal pada setiap pokok bahasan dan setiap unsur kemampuan sesuai dengan yang telah dientukan dalam kisi-kisi. Setiap pertanyaan yang harus dijawab dan setiap suruhan yang harus dilakukan oleh setiap peserta test dirumuskan sedemikian rupa sehingga jelas apa yang ditanyakan dan jawaban apa yang dituntut dari peserta test.
Untuk memperoleh rumusan soal yang baik, setelah soal itu ditulis hendaknya diadakan review dan revisi sampai merasa yakin bahwa rumusan soal tersebut sudah tepat menurut kaidah-kaidah penuklisan soal. Bila semua soal telah dirumuskan maka kegiatan selanjutnya menyusun atau mengorganisir soal-soal tersebut menjadi sebuah test. Penetuan nomor soal sebaiknya diacak agar skor yang diperoleh dari test tersebut dapat dipercaya. Langkah-langkah dalam penulisan soal ini meliputi; merumuskan definisi konsep materi yang akan diteskan, merumuskan definisi oprasional dari konsep yang telah ditetapkan, menentukan indikator-indikator dan menulis butir soal.
Ada beberapa pedoman, ini linknya http://d3statistika-unhalu.org/files/ PedomanPembuatanSoalUjian.pdf ; http://www.scribd.com/doc/8713416/Cara-Membuat-Soal-Time-Rally; http://besmart.uny.ac.id/file.php/1/Resources/Pembuatan_QUIZ-sm.pdf; http://ebooks-free-download.com/www-cara-pembuatan-soal-mata-kuliah-com.html
5. Pelaksanaan/penyajian test
Setelah penulisan soal selesai dan telah disusun penomorannya serta telah diperbanyak sesuai dengan jumlah peserta test, kemudian test tersebut disajikan kepada peserta test. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan test antara lain : waktu yang harus disediakan untuk mengerjakan test, petunjuk cara mengerjakan soal, pengaturan posisi tempat duduk siswa, dan menjaga ketertiban dan ketenagaan suasana kelas, sehimga peserta test dapat mengerjakan soal-soal tersbut dengan penuh konsentrasi.
6. Pemeriksaan hasil test
Hasil jawaban peserta test hendaknya diperiksa dengan cermat dan diberi skor sesuai dengan petunjuk/pedoman penskoran yang telah ditetapkan. Teknik penskoran dalam setiap bentuk soal biasanya berbeda-beda. Oleh karena itu pedoman penskoran harus ditentukan terlebih dahulu. Buatlah kunci jawaban atau rambu-rambu jawaban yang diinginkan beserta pembobotan skornya, sediakan waktu dan tenaga yang cukup leluasa sehingga tidak terburu-buru terutama dalam pemeriksaan hasil test soal bentuk uraian.
7. Pengolahan dan penafsiran hasil test
Skor yang diperoleh dari test dapat diolah dalam berbagai tekhnik pengolahan tergantung informasi yang dibutuhkan. Seperti rata-rata skor, standar deviasi, variansi, kecenderungan sentral, menentukan batas lulus, mentransper skor ke dalam nilai baku (skala 10, skala 4, dan lain-lain). Ada dua pendekatan penafsiran hasil test yaitu berdasarkan acuan patokan (PAP) dan pendekatan berdasarkan acuan norma (PAN). Acuan patokan untuk mendeskripsikan tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang ditestkan., sedangkan acuan norma untuk melihat kedudukan diantara siswa /peserta test. Pendekatan yang mana yang akan dipilih tergantung kepada tujuan dari pelaksanaan test.
8. Penggunaan hasil test
Penggunaan hasil test ini sangat erat kaitannya dengan tujuan test tersebut, apakah untuk tujuan formatif, sumatif, diagnostik, atau penempatan. Hasil penilaian in sangat berguna terutama sebagai bahan perbaikan program pengajaran, melihat tingkat ketercapaian kurikulum, memotivasi belajar siswa, bahan laporan kepada orang tua siswa dan sebagai bahan laporan kepada atasan untuk kepentingan supervisi dan monotoring program serta sebagai bahan penyusunan progran berikutnya sebagai tindak lanjut.
F . TEKNIK DAN ALAT PENILAIAN
Secara umum alat penilaian dapat dikelompokan kedalam dua kelompok , alat penilaian bentuk tes dan alat penilaian bukan tes.
1. Bentuk Tes
Dari segi pelaksanaannya, tes dibagi kedalam tiga kategori; tes tulisan, tes lisan dan tes tindakan. Dari segi bentuk soal dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk soal, yaitu (a) soal pilihan ganda, (b) soal benar salah, (c) soal menjodohkan, (d) uraian /jawaban singkat, dan (e) soal bentuk uraian bebas ( free essay). Dilihat dari segi cara atau pola jawaban yang diberikan, soal dapat dibedakan ada soal yang telah disediakan jawabannya, peserta tes tinggal memilih jawaban tersebut (pilihan ganda, benar salah, menjodohkan) dan ada soal yang tidak disediakan jawabannya (uraian). Kemudian dilihat dari segi cara pemberian skornya, dibedakan ke dalam soal yang bersifat objektif dan soal yang bersifat subjektif.
Agar informasi tentang karakteristik tingkah laku individu yang dinilai akurat atau mencerminkan mendekati keadaan yang sebenarnya, sehingga informasi itu dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan penting dalam pendidikan dan pengajaran, maka tes yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis sebagai alat ukur yang baik. Karakteristik tes yang baik menurut Hopkins dan Antes adalah tes tersebut memiliki keseimbangan, spesifik dan objektif.[11] Keseimbangan dan kehususan (spesifikasi) berkaitan langsung dengan validitas, objektivitas berkaitan langsung dengan reliabilitas dan berkaitan tidak langsung dengan validitas, yaitu melalui keterkaitan antara validitas dan reliabilitas. Untuk memperoleh prangkat tes yang seimbang (proporsional) , dapat dilakukan dengan cara membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi) mengenai topik-topik yang akan dimasukan ke dalam perangkat tes. Untuk memperoleh butir-butir soal yang spesifik dapat dilakukan melalui identifikasi kompetensi dan tujuan-tujuan khusus pembelajaran, selanjutnya dijadikan dasar perumusan butir soal. Dengan cara-cara di atas, dapat diharapkan butir-butir soal yang dirumuskan dapat menjadi sampel yang representatif dalam perangkat tes itu.
Ebel mengemukakan lebih terinci lagi, ada 10 kriteria perangkat tes yang baik ; (1) relevansi, yaitu kesesuaian antara tes yang dikembangkan dengan kurikulum yang telah ditentukan, (2) keseimbangan antara tujuan pembelajaran khusus dengan jumlah butir soal yang mewakilinya, (3) efisien baik dalam pelaksanaan tes, pemberian skor dan pengadministrasiannya, (4) objektif dalam pemberian skor dan penafsiran hasilnya, (5) spesifikasi, yaitu tes hanya mengukur hal-hal khusus yang telah diajarkan, (6) tingkat kesukaran butir soal berada disekitar indeks 0,50 (7) memiliki kemampuan untuk membedakan antara kelompok siswa yang pandai dengan kelompok siswa yang assor, (8) memiliki tingkat reliabilitas yang cukup tinggi, (9) kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaan evaluasinya, (10) memiliki kecepatan (speed) yang wajar dalam penyelesaian tesnya.[12]
2. Bentuk Non Tes
a. Wawancara dan Quistioner
Sebagai alat penilaian, wawancara dan quistioner sangat efektif untuk menilai hasil belajar siswa yang berkaitan dengan pendapat, keyakikan, aspirasi, harapan, prestasi, keinginan dan lain-lain. Sebagai alat penilaian, wawancara memiliki kelebihan yaitu dapat berkomunikasi langsung dengan siswa, sehingga siswa dapat mengungkapkan jawaban dengan lebih bebas dan mendalam. Disamping itu, melalui wawancara dapat dibina hubungan yang lebih baik. Ada dua macam wawancara, pertama wawancara yang berstruktur dan yang kedua wawancara tidak berstruktur/bebas.
Seperti halnya wawancara, quistioner juga memiliki kelebihan yaitu bersifat praktis, hemat waktu dan tenaga. Namun demikian, questioner memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu seringkali jawaban yang diberikan tidak objektif, siswa memberi jawaban yang pura-pura. Wawancara juga ada dua macam, yang berstruktur dan tidak berstruktur. Yang berstruktu setiap pertanyaan sudah disediakan jawabannya, siswa tinggal memilih/mencocokannya. Sedangkan yang tidak berstruktur siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan jawabannya sendiri.
b. Skala
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat atau perhatian, yang disusun dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden yang hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang digunakan.
Ada dua jenis sekala yang sering digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa, yaitu sekala sikap dan sekala penilaian.
Skala sikap,
Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan seseorang berprilaku. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap stimulus yang datang pada dirinya. Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa katagori sikap, yakni mendukung, menolak atau netral.
Ada tiga komponen sikap yakni kognisi (berkenaan dengan pengetahuan tentang objek), afeksi (berkaitan dengan perasaan terhadap objek), dan konasi (berkaitan dengan kecenderungan berprilaku terhadap objek itu).
Ada beberapa bentuk skala yang biasa digunakan untuk menilai derajat sifat nilai sikap seseorang terhadap suatu objek, antara lain :
• Menggunakan bilangan , untuk menunjukan tingkat-tingkat dari sifat (objek ) yang dinilai. Misalnya, 1, 2, 3, 4 dan seterusnya.
• Menggunakan frekuensi terjadinya/timbulnya sikap itu. Misalnya; selalu, seringkali, kadang-kadang, pernah, dan tidak pernah.
• Menggunakan istilah-istilah yang bersifat kualitatif. Misalnya; bagus sekali, baik, sedang, dan kurang. Atau istilah-istilah; sangat setuju, stuju, tidak punya pendapat, tidak stuju, dan sangat tidak setuju.
• Menggunakan istilah-istilah yang menunjukan status/ kedudukan. Misalnya; paling rendah, di bawah rata-rata, di atas rata-rata, dan paling tinggi.
• Menggunakan kode bilangan atau huruf. Misalnya; selalu diberi kode 5, kadang-kadang 4, jarang, 3, jarang sekali 2, dan tidak pernah diberi kode bilangan 1.
Skala penilaian,
Skala penilaian mengukur penampilan atau prilaku siswa melalui pernyataan prilaku pada sutu titik kontinum atau suatu katagori yang bermakna nilai. Titik atau kategori itu diberi rentangan nilai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan ini bisa berupa hurup abjad (A, B, C, D) atau angka (1,2,3 4). Hal yang harus diperhatikan adalah kriteria sekala nilai, yakni penjelasan oprasional untuk setiap alternatif jawaban.
Skala penilaian lebih tepat digunakan untuk mengukur suatu proses, misalnya proses belajar pada siswa, atau hasil belajar yang berbentuk prilaku (performance), seperti hubungan sosial diantara siswa atau cara-cara memecahkan masalah.
c. Observasi
Observasi sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu atau terjadinya suatu proses kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situsi buatan. Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar seperti:tingkah laku siswa pada waktu belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas dan lain-lain.
Ada tiga jenis observasi yaitu observasi langsung, observasi dengan menggunakan alat (tidak langsung) dan observasi partisipasi. Ketiga jenis observasi itu digunakan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan dari kegiatan observasi tersebut.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam mengembangkan penilaian dengan menggunakan teknik observasi adalah sebagai berikut:
• Tentukan aspek kegiatan yang akan diobservasi. Aspek kegiatan ini mungkin berkaitan dengan kegiatan siswa secara individu, kegiatan siswa secara kelompok, interaksi guru dengan siswa, interaksi antara siswa dengan siswa dan lain sebagainya.
• Menentukan pedoman observasi yang akan digunakan. Tentukan bentuk pedoman observasi yang akan digunakan, apakah bentuk bebas (tidak perlu ada jawaban, tetapi mencatat apa yang nampak) atau pedoman yang berstruktur (memakai alternatif jawaban). Bila dipakai bentuk yang berstruktur, tetapkan pilihan jawaban serta indikator-indikator setiap jawaban sebagai pedoman dalam pelaksanaanya nanti.
• Melaksanakan observasi, yaitu mencatat tingkah laku yang terjadi pada saat kegiatan berlangsung. Cara dan teknik pencatatannya sesuai dengan format atau bentuk pedoman observasi yang digunakan.
• Mengolah hasil observasi.
d. Studi kasus
Studi kasus pada dasarnya mempelajari individu secara intensif yang dipandang memiliki kasus tertentu. Misalnya mempelajari anak yang sangat bandel/nakal, sangat rajin, sangat piter, atau sangat lamban dalam belajar. Kasus-kasus tersebut dipelajari secara mendalam, yaitu mengungkap segala variabel yang diduga menjadi penyebab timbulnya prilaku atau keadaan khusus tadi dalam kurun waktu tertentu. Tekanan utama dalam studi kasus adalah mencari tahu mengapa individu melakukan sesuatu dan apa pengaruhnya terhadap lingkungan.
Kelebihan studi kasus sebagai alat penilaian adalah subjek dpelajari secara mendalam dan menyeluruh, sehingga karakter individu tersebut dapat diketahui dengan selengkap-lengkapnya. Namun demikian, studi kasus sifatnya sangat subjektif, artinya informasi yang diperoleh hanya berlaku untuk individu itu saja, tidak dapat digeneralisir untuk individu lain sekalipun memiliki kasus yang hampir sama.
e. Sosiometri
Banyak ditemukan di lingkungan sekolah siswa yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Ia nampak murung, mengasingkan diri, mudah tersinggung, atau bahkan oper acting. Hal ini bisa dilihat ketika siswa sedang bermain atau sedang mengerjakan tugas-tugas kelompok. Gejala-gejala tersebut menunjukan adanya kekurang mampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kondisi ini perlu diketahui oleh guru dan dicarikan upaya untuk memperbaikinya, karena kondisi seperti itu dapat mengganggu proses belajarnya. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan siswa dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya adalah dengan teknik sosiometri. Dengan teknik ini dapat diketahui posisi siswa dalam hubungan sosialnya dengan siwa lainnya. Misalnya ada siswa yang terisolasi dari kelompoknya, siswa yang paling disukai oleh teman-temannya, siswa yang memiliki hubungan mata rantai, dan sebagainya.
Sosio metri dapat dilakukan dengan cara menyuruh siswa di kelas untuk memmilih satu atau dua teman yang paling disukainya. Usahakan tidak terjadi kompromi untuk saling memilih diantara siswa. Atau dapat pula siswa disuruh memilih siswa yang kuarang disukainya. Dengan cara di atas, dapat diketahui siswa-siswa mana yang menghadapi kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, kemudian diberi bantuan.
http://walangkramat.wordpress.com/2010/03/24/hakikat-evaluasi/
[1] Norman E. Gronlund, Measurement and Evaluation in Teaching, Fifth Edition (New York : McMillan Publising, 1985), p.5.
[2] Charles D. Hopkins & Richard L. Antes, Clasroom Measurement and Evaluation, Third Edition ( Indiana : F.E Peacok Publisher, Inc. , 1990), p.29.
[3] I b i d., p.7
[4] James Mursell, Mengajar dengan Sukses, terjemahan S. Nasution (Bandung : C.V Jemars),p.128
[5] I b i d., pp.122 – 139
[6] Gronlund, Constructing Achievement Tests , p.2
[7] I b i d,. p. 6.
[8] Zaenul dan Nasution, op. cit, pp.9-11.
[9] Gronlund, op . cit. ,pp. 8-14.
[10] Nana Sujana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung : P.T Remaja Rosdakarya, 1990), pp.8-9.
[11]. Hopkins and. Antes, op. cit. p. 269.
[12] Robert L. Ebel, Essentials of Educational Measurement (Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall, Inc. 1986).pp.35-55
1. Pengertian Evaluasi dan Pengukuran
Ada tiga hal yang saling berkaitan dalam kegiatan evaluasi pembelajaran yaitu evaluasi, pengukuran dan tes. Ketiga istilah itu sering disalah artikan sehingga tidak jelas makna dan kedudukannya. Gronlund mengemukakan evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dari pengumpulan, analisis dan intrepretasi informasi/data untuk menentukan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran. Pengukuran adalah suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka mengenai tingkatan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh individu (siswa). Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel prilaku [1]. Sejalan dengan pendapat di atas, Hopkins dan Antes mengemukakan evaluasi adalah pemeriksaan secara terus menerus untuk mendapatkan informasi yang meliputi siswa, guru, program pendidikan dan proses belajar mengajar untuk mengetahui tingkat perubahan siswa dan ketepatan keputusan tentang gambaran siswa dan efektivitas program [2]. Pengukuran adalah suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka berdasarkan hasil pengamatan mengenai beberapa ciri (atribute) tentang suatu objek, orang atau peristiwa [3].
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, dan tes merupakan salah satu alat atau bentuk dari pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (berupa angka-angka) tentang kemajuan belajar siswa (learning progress) sedangkan evaluasi atau penilaian bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), dapat pula didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description). Yang didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) dan bukan di dasarkan kepada hasil pengukuran (non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu objek yang dinilai.
Mursell mengatakan ada tiga hal pokok yang dapat di evaluasi dalam pembelajaran, yaitu (a) hasil langsung dari usaha belajar, (b) transfer sebagai akibat dari belajar, dan (c) proses belajar itu sendiri [4]
Hasil dari usaha belajar nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku, baik secara subtantif maupun secara komprehensif. Perubahan itu ada yang dapat diamanati secara langsung ada pula yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan itu juga ada yang terjadi dalam jangka pendek ada pula yang terjadi dalam jangka panjang. Namun demikian, bagaimanapun baiknya alat evaluasi yang digunakan hanya mungkin dapat mengungkap sebagian tingkah laku dari keseluruhan hasil belajar yang sebenarnya. Evaluasi yang baik harus menilai hasil-hasil yang autentik dan hal ini dilakukan dengan mengetes hingga manakah hal itu dapat ditransferkan. Evaluasi harus dilakukan dengan tepat, teliti dan objektif terhadap hasil belajar sehingga dapat menjadi alat untuk mengecek kemampuan siswa dalam belajarnya dan mempertinggi prestasi belajarnya. Di samping itu evaluasi dapat menjadi alat pengontrol bagi cara mengajar guru, serta dapat membimbing murid untuk memahami dirinya (keunggulan dan kelemahannya).
2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pembelajaran
Mursell mengemukakan bahwa evaluasi menurut syarat-syarat psikologis bertujuan agar guru mengenal siswa selengkap mungkin dan agar siswa mengenal dirinya sesempurna-sempurnanya. Di samping itu,evaluasi juga berguna untuk meningkatkan hasil pengajaran, karena itu evaluasi tidak dapat dipisahkan dari belajar dan mengajar, dan intinya adalah penilaian belajar dengan tujuan untuk memperbaikinya. Penilaian harus dilakukan oleh semua yang bersangkutan, bukan hanya guru tapi juga siswa sendiri, dan harus ditinjau dari keseluruhan [5]. Berdasarkan hasil evaluasi, guru dapat mengetahui sampai di mana penguasaan bahan pelajaran atau kecakapan masing-masing siswa. Selain itu evaluasi juga dapat digunakan guru sebagai alat untuk memperbesar motivasi belajar siswa, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Evaluasi dalam pembelajaran dapat membantu guru dalam mengambil keputusan-keputusan yang epektif dalam pembelajaran. Gronlund mengemukakan ada tiga jenis keputusan yang dapat dilakukan oleh guru berkaitan dengan proses evaluasi (a) keputusan pada permulaan pengajaran (b) keputusan pada saat pengajaran berlangsung, dan (c) keputusan pada akhir pembelajaran [6]. Keputusan pada awal pengajaran berkaitan dengan informasi mengenai sejauh mana kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki siswa untuk memulai pelajaran (entering behavior), dan sejauh mana bahan pelajaran yang akan diberikan telah diketahui siswa (pre-test). Keputusan pada saat pengajaran berlangsung berkaitan dengan tugas-tugas belajar mana yang dapat dilakukan oleh siswa dengan baik, dan tugas-tugas mana yang memerlukan pertolongan (perlu dibantu), siswa mana yang menghadapi kesulitan dalam belajarnya sehingga memerlukan program remedial. Keputusan pada akhir pengajaran berkaitan dengan informasi tentang siswa manakah yang telah menguasai bahan pelajaran yang diberikan serta dapat melanjutkan kepada program pengajaran berikutnya, dan nilai apa yang harus diberikan kepada setiap murid.
Selanjutnya Gronlund mengemukakan bahwa evaluasi dalam pembelajaran dapat membantu siswa (a) memperkuat motivasi belajarnya, (b) memperbesar daya ingat dan transfer belajarnya, (c) memperbesar pemahaman siswa terhadap keberadaan dirinya, dan (d) memberikan bahan unpan balik tentang keefektifan pembelajaran.[7]
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan evaluasi dalam pembelajaran adalah meliputi (a) untuk melihat produktivitas dan efektivitas kegiatan belajar mengajar, (b) untuk memperbaiki, dan menyempurnakan kegiatan guru, (c) untuk memperbaiki, menyempurnakan dan mengembangkan program belajar mengajar, (d) untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi oleh siswa selama kegiatan belajar dan mencarikan jalan keluarnya, dan (e) untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya. Adapun fungsi utama evaluasi dalam pembelajaran dapat dikelompokan ke dalam empat fungsi, yaitu (a) formatif, evaluasi dapat memberikan unpan balik bagi guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi siswa yang belum menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari, (b) sumatif, yaitu dapat mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, menentukan angka nilai sebagai bahan keputusan kenaikan kelas dan laporan perkembangan belajar siswa, serta dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, (c) diagnostik, yaitu dapat mengetahui latar belakang siswa (psikologis, fisik, dan lingkungan), yang mengalami kesulitan belajar, dan (d) seleksi dan penempatan, yaitu hasil evaluasi dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi dan menempatkan siswa sesuai dengan minat dan kemampuannya [8].
3. Prinsip-prinsip Umum Evaluasi dalam Pembelajaran
Prinsip-prinsip evaluasi dalam pembelajaran sangat diperlukan sebagai panduan dalam prosedur pengembangan evaluasi, karena jangkauan sumbangan penilaian dalam usaha perbaikan pembelajaran sebagian ditentukan oleh prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan pemakaiannya. Berkaitan dengan prinsip-prinsip penilaiai tersebut, Gronlund mengemukakan enam prinsip penialaian, yaitu tes hasil belajar hendaknya (1) mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, (2) mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan-bahan yang tercakup dalam pengajaran, (3) mencakup jenis-jenis pertanyaan/soal yang paling sesuai untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan, (4) direncanakan sedemikian rupa agar hasilnya sesuai dengan yang akan digunakan secara khusus, (5) dibuat dengan reliabilitas yang sebesar-besarnya dan harus ditafsirkan secara hati-hati, dan (6) dipakai untuk memperbaiki hasil belajar.[9] Sejalan dengan pendapat di atas, Nana Sujana mengemukakan bahwa penilaian hasil belajar hendaknya (a) dirancang sedemikian rupa sehingga jelas kemampuan yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian dan iterpretasi hasil penilaian, (b) menjadi bagian yang integral dari proses belajar mengajar, (c) agar hasilnya obyektif, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif, (d) diikuti dengan tindak lanjutnya [10].
Tujuan pokok evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Indikator keefektifan itu dapat dilihat dari perubahan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik . Perubahan tingkah laku yang terjadi itu dibandingkan dengan perubahanan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan isi program pembelajaran. Oleh karena itu, instrumen evaluasi harus dikembangkan bertitik tolak kepada tujuan dan isi program, sehingga bentuk dan format tes yang dikembangkan sesuai dengan tujuan dan karakteristik bahan ajar serta proporsinya sesuai dengan keluasan dan kedalaman materi pelajaran yang diberikan. Hasil evaluasi harus dianalisis dan ditafsirkan secara hati-hati sehingga informasi yang diperoleh betul-betul akurat mencerminkan keadaan siswa secara objektif. Informasi yang objektif dapat dijadikan bahan masukan untuk perbaikan proses dan program selanjutnya. Evaluasi dalam pembelajaran tidak semata-mata untuk menentukan ratting siswa melainkan juga harus dijadikan sebagai teknik atau cara pendidikan. Sebagai teknik atau alat pendidikan evaluasi pembelajaran harus dikembangakan secara terencana dan terintegratif dalam program pembelajaran, dilakukan secara kontinue, mengandung unsur paedagogis, dan dapat lebih mendorong siswa aktif belajar.
RUANG LINGKUP ASPEK PENILAIAN
Hasil belajar siswa, bila diklasifikasikan berdasarkan taxonomy Bloom meliputi; aspek kognitif, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, penilaian hasil belajar juga harus bersifat komprehensif (menyeluruh) meliputi ketiga aspek di atas. Disamping itu, proses belajar mengajar (pembelajaran) yang ditempuh oleh guru dan siswa juga harus mendapat perhatian dalam penilaian ini. Sebagai bahan masukan untuk perbaikan proses pembelajaran berikutnya.
Secara umum bentuk-bentuk soal yang digunakan untuk menilai aspek kognitif dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk soal, yaitu (a) soal bentuk pilihan ganda, (b) soal bentuk benar salah, (c) soal menjodohkan, (d) uraian /jawaban singkat, dan (e) soal bentuk uraian bebas ( free essay). Dilihat dari segi cara atau pola jawaban yang diberikan, soal dapat dibedakan ada soal yang telah disediakan jawabannya, peserta tes tinggal memilih jawaban tersebut (pilihan ganda, benar salah, menjodohkan) dan ada soal yang tidak disediakan jawabannya (uraian). Kemudian dilihat dari segi cara pemberian skornya, dibedakan ke dalam soal yang bersifat objektif dan soal yang bersifat subjektif.
Sikap merupakan bagian dari hasil belajar, dengan demikian sikap dapat dibentuk, diarahkan, dipengaruhi dan dikembangkan. Sikap seorang siswa menentukan bagaimana ia bereaksi terhadap situasi yang dihadapi dan menentukan apa yang dicari dan diperjuangkan dalam kehidupannya. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek tersebut muncul setelah ia mempelajari, mengamati dan mengenali objek itu. Ada dua kemungkinnan sikap individu terhadap suatu objek yang dipelajarinya, sikap positif atau sikap negatif. Sikap positif muncul apabila individu itu memandang objek tersebut bernilai dan akan muncul sikap negatif apabila individu memandang objek tersebut bukan saja tidak bernilai, juga mmerugikan. Sikap siswa dapat dibentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang, imitasi (peniruan), identifikasi (mengenali secara mendalam) dan sugesti.
Untuk mengukur hasil belajar aspek sikap, paling tepat menggunakan instrumen sekala sikap. Yaitu sejenis angket tertutup dimana pertanyaan/pernyataan mengandung sifat nilai-nilai sikap yang menjadi tujuan pengajaran. Salah satu jenis sekala sikap yang banyak digunakan adalah sekala Likert. Ini saya link dengan: http://daps.bps.go.id/file_artikel/100/SKALA%20LINKERT.pdf ; http://id.wikipedia.org/wiki/Skala_Likert ; http://www.damandiri.or.id/file/luvikurniasariunairbab4.pdf
Penilaian penampilan (keterampilan) berkenaan dengan hasil pengajaran yang berkaitan dengan aspek keterampilan. Seperti halnya dengan jenis penilaian yang lain, hakekat penilaian penampilan terutama ditentukan oleh karakteristik hasil belajar yang akan diukur. Penilaian penampilan mengacu kepada prosedur melakukan suatu kegiatan dan atau mengacu kepada hasil yang dicapai dari suatu kegiatan. Dengan kata lain, mengukur tingkat kemahiran tingkat keterampilan seseorang tentang suatu kegiatan bisa dilihat pada saat seseorang sedang melakukan kegiatan atau dilihat dari hasil/produk dari kegiatan tersebut.
Walaupun pengukuran pengetahuan dapat menggambarkan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu kegiatan dalam situasi tertentu, namun penilaian penampilan diperlukan untuk menilai kemampuan yang sebenarnya. Meskipun penilaian penampilan amat diperlukan, namun seringkali diabaikan dalam penilaian hasil belajar. Hal ini disebabkan : Pertama, banyak guru/penilai yan beranggapan bahwa untuk mengukur penampilan peserta didik cukup dilakukan melalui tes pengetahuan saja. Padahal yang sesungguhnya, tes pengetahuan hanya tepat jika penilai ingin mengukur apa yang diketahui peserta didik tentang sesuatu, sedangkan jika ingin mengetahui sejauhmana kemahiran peserta didik didalam menampilkan suatu kegiatan, yang harus digunakan adalah tes penampilan. Dengan demikian skor tes pengetahuan jelas tidak dapat dipakai untuk menggambarkan keterampilan penampilan peserta didik. Kedua, pelaksanaan penilaian relatif lebih sukar dibandingkan penilaian terhadap aspek pengetahuan. Tes penampilan memerlukan waktu lebih banyak untuk mempersiapkan dan melaksanakannya serta pemberian skornya sering subjektif dan membebani.
Mutu hasil penilaian penampilan akan sangat tinggi apabila menempuh prosedur yang benar dan sistematis. Adapun prosedur penilaian penampilan secara umum meliputi : (l) memilih topik / pokok bahasan, (2) merumuskan tujuan pembelajaran/pelatihan, (3) mengidentifikasi penampilan yang hendak diukur, (4) memilih jenis tes yang digunakan, (5) merumuskan instruksi (suruhan) kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik, dan (6) membuat format penilaian.
Penilaian terhadap proses seringkali diabaikan, setidaknya tidak mendapat porsi yang seimbang dengan penilaian terhadap hasil. Padahal pendidikan tidak berorientasi kepada hasil semata, tetapi juga kepada proses. Terlebih-lebih saat ini sedang digalakan sistem pembelajaran yang menekankan kepada keterampilan proses, dimana kegiatan siswa di dalam mencari dan mengolah informasi materi pelajaran mendapat porsi yang sangat tinggi (student centre). Penilaian terhadp hasil belajar semata tanpa menilai proses, cenderung siswa menjadi kambing hitam kegagalan pendidikan. Padahal tidak menutup kemungkinan penyebab kegagalan itu adalah lemahnya proses pengajaran, dimana guru sebagai penanggung jawabnya.
Tujuan penilaian proses belajar mengajar lebih ditekankan kepada perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar, terutama berkaitan dengan efisiensi, efektiivitas dan produktivitas kegiatan tersebut dalam mencapai tujuan pengajaran. Teknik dan instrumen yang sering diigunakan untuk menilai proses ini adalah teknik observasi.
LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN PENILAIAN PEMBELAJARAN
Agar dapat memperoleh hasil yang efektif penilaian hasil belajar perlu direncanakan secara sistematis sehingga jelas abilitas yang hendak diukur, materi, alat dan interpretasi penilainnya. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan evaluasi hasil belajar yaitu , (1) pengambilan sampel dan pemilihan butir soal, (2) tipe tes yang akan digunakan, (3) aspek yang akan diuji, (4) format butir soal, (5) jumlah butir soal, (6) distribusi tingkat kesukaran butir soal. Empat langkah pokok dalam pengembangan penilaian pembelajaran yaitu (1) menentukan tujuan tes, (2) mengidentifikasi hasil belajar yang akan diukur, (3) membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi tes), dan (4) menulis soal yang relevan dengan kisi-kisi tes. Kemudian dalam menentukan bentuk soal mana yang akan digunakan, perlu mempertimbngkan hal-hal berikut (1) karakteristik mata pelajaran yang akan diujikan, (b) tujuan khusus pembelajaran yang harus dicapai siswa, (3) tipe informasi yang dibutuhkan dari tujuan evaluasi, (4) usia dan tingkat perkembangan mental siswa yang akan mengikuti tes, dan (5) besarnya kelompok siswa yang akan mengikuti tes .
Kualitas tes khususnya yang berkaitan dengan validtas dan reliabilitas tes, banyak ditentukan oleh prosedur yang ditempuh dalam pengembangannya. Mulai dari penentuan tujuan penilaian, pengambilan sampel bahan tes, penentuan abilitas yang hendak diukur, penentuan bentuk dan format tes, penggunaan bahasa dan kalimat yang digunakan dalam penulisan butir soal, teknik pengolahan dan analisis hasil penilaian. Karakteristik tujuan dan materi pelajaran juga menentukan bentuk dan format tes yang harus dikembangkan. Mengukur kemampuan aspek pengetahuan berbeda caranya dengan mengukur kemampuan aspek keterampilan dan sikap, demikian pula mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran bahasa berbeda dengan mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran ilmu pasti. Adapun langkah-langkah umum pengembangan alat penilaian adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kompetensi, pokok bahasan dan sub pokok bahasan serta tujuan pengajaran
Pada tahap ini guru menginventarisir kompetensi apa yang diharapkan dimiliki oleh siswa, pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang telah diberikan kepada siswa serta tujuan khusus maupun tujuan umum dalam setiap bidang studi/mata pelajaran dalam satuan waktu tertentu sesuai dengan peruntukan test. Misalnya, satu catur wulan, satu tahun atau satu satuan jenjang pendidikan seperti EBTA.
2. Menentukan sample aspek kemampuan yang akan diukur
Dari sekian banyak pokok bahasan/sub pokok dan tujuan pengjaran, diambil sebagian unuk dikembnagkan ke dalam alat penelitian (test) sesuaui dengan jumlah soal yang dibutuhkan dan waktu yang tersedia untuk test tersebut. Penentuan sample tersebut harus dilakukan dengan cermat sehingga dapat mewakili atau mencerminkan ruang lingkup kemampuan siswa yang sebenarnya.
3. Membuat tabel spesifikasi atau kisi-kisi test
Pada intinya kisi-kisi test ini merupakan gambaran mengenai ruang lingkup dan isi dari apa yang akan ditestkan, serta memberikan perincian mengenai penyebaran soal-soal dalam setiap jenjang /aspek kemampuan ke dalam bentuk soal yang akan dikembangkan (pilihan ganda, menjodohkan, benar salah atau uraian). Kisi-kisi ini disusun berdasarkan hasil penyampelan ruang lingkup materi test yang telah ditetapkan pada langkah kedua ( poin b ).
Format kisi-kisi beragam bentuknya, namun pada intinya menyangkut unsur-unsur; identitas sekolah dan bidang studi, tujuan umum, pokok/sub pokok bahasan yang akan ditestkan, bentuk soal yang akan dikembangkan, dan jumlah soal atau panjang test. Format kisi-kisi ini biasanya berbentuk matrik.
4. Penulisan soal
Mengacu pada kisi-kisi yang telah dibuat, langkah selanjutnya adalah menulis soal pada setiap pokok bahasan dan setiap unsur kemampuan sesuai dengan yang telah dientukan dalam kisi-kisi. Setiap pertanyaan yang harus dijawab dan setiap suruhan yang harus dilakukan oleh setiap peserta test dirumuskan sedemikian rupa sehingga jelas apa yang ditanyakan dan jawaban apa yang dituntut dari peserta test.
Untuk memperoleh rumusan soal yang baik, setelah soal itu ditulis hendaknya diadakan review dan revisi sampai merasa yakin bahwa rumusan soal tersebut sudah tepat menurut kaidah-kaidah penuklisan soal. Bila semua soal telah dirumuskan maka kegiatan selanjutnya menyusun atau mengorganisir soal-soal tersebut menjadi sebuah test. Penetuan nomor soal sebaiknya diacak agar skor yang diperoleh dari test tersebut dapat dipercaya. Langkah-langkah dalam penulisan soal ini meliputi; merumuskan definisi konsep materi yang akan diteskan, merumuskan definisi oprasional dari konsep yang telah ditetapkan, menentukan indikator-indikator dan menulis butir soal.
Ada beberapa pedoman, ini linknya http://d3statistika-unhalu.org/files/ PedomanPembuatanSoalUjian.pdf ; http://www.scribd.com/doc/8713416/Cara-Membuat-Soal-Time-Rally; http://besmart.uny.ac.id/file.php/1/Resources/Pembuatan_QUIZ-sm.pdf; http://ebooks-free-download.com/www-cara-pembuatan-soal-mata-kuliah-com.html
5. Pelaksanaan/penyajian test
Setelah penulisan soal selesai dan telah disusun penomorannya serta telah diperbanyak sesuai dengan jumlah peserta test, kemudian test tersebut disajikan kepada peserta test. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan test antara lain : waktu yang harus disediakan untuk mengerjakan test, petunjuk cara mengerjakan soal, pengaturan posisi tempat duduk siswa, dan menjaga ketertiban dan ketenagaan suasana kelas, sehimga peserta test dapat mengerjakan soal-soal tersbut dengan penuh konsentrasi.
6. Pemeriksaan hasil test
Hasil jawaban peserta test hendaknya diperiksa dengan cermat dan diberi skor sesuai dengan petunjuk/pedoman penskoran yang telah ditetapkan. Teknik penskoran dalam setiap bentuk soal biasanya berbeda-beda. Oleh karena itu pedoman penskoran harus ditentukan terlebih dahulu. Buatlah kunci jawaban atau rambu-rambu jawaban yang diinginkan beserta pembobotan skornya, sediakan waktu dan tenaga yang cukup leluasa sehingga tidak terburu-buru terutama dalam pemeriksaan hasil test soal bentuk uraian.
7. Pengolahan dan penafsiran hasil test
Skor yang diperoleh dari test dapat diolah dalam berbagai tekhnik pengolahan tergantung informasi yang dibutuhkan. Seperti rata-rata skor, standar deviasi, variansi, kecenderungan sentral, menentukan batas lulus, mentransper skor ke dalam nilai baku (skala 10, skala 4, dan lain-lain). Ada dua pendekatan penafsiran hasil test yaitu berdasarkan acuan patokan (PAP) dan pendekatan berdasarkan acuan norma (PAN). Acuan patokan untuk mendeskripsikan tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang ditestkan., sedangkan acuan norma untuk melihat kedudukan diantara siswa /peserta test. Pendekatan yang mana yang akan dipilih tergantung kepada tujuan dari pelaksanaan test.
8. Penggunaan hasil test
Penggunaan hasil test ini sangat erat kaitannya dengan tujuan test tersebut, apakah untuk tujuan formatif, sumatif, diagnostik, atau penempatan. Hasil penilaian in sangat berguna terutama sebagai bahan perbaikan program pengajaran, melihat tingkat ketercapaian kurikulum, memotivasi belajar siswa, bahan laporan kepada orang tua siswa dan sebagai bahan laporan kepada atasan untuk kepentingan supervisi dan monotoring program serta sebagai bahan penyusunan progran berikutnya sebagai tindak lanjut.
F . TEKNIK DAN ALAT PENILAIAN
Secara umum alat penilaian dapat dikelompokan kedalam dua kelompok , alat penilaian bentuk tes dan alat penilaian bukan tes.
1. Bentuk Tes
Dari segi pelaksanaannya, tes dibagi kedalam tiga kategori; tes tulisan, tes lisan dan tes tindakan. Dari segi bentuk soal dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk soal, yaitu (a) soal pilihan ganda, (b) soal benar salah, (c) soal menjodohkan, (d) uraian /jawaban singkat, dan (e) soal bentuk uraian bebas ( free essay). Dilihat dari segi cara atau pola jawaban yang diberikan, soal dapat dibedakan ada soal yang telah disediakan jawabannya, peserta tes tinggal memilih jawaban tersebut (pilihan ganda, benar salah, menjodohkan) dan ada soal yang tidak disediakan jawabannya (uraian). Kemudian dilihat dari segi cara pemberian skornya, dibedakan ke dalam soal yang bersifat objektif dan soal yang bersifat subjektif.
Agar informasi tentang karakteristik tingkah laku individu yang dinilai akurat atau mencerminkan mendekati keadaan yang sebenarnya, sehingga informasi itu dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan penting dalam pendidikan dan pengajaran, maka tes yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis sebagai alat ukur yang baik. Karakteristik tes yang baik menurut Hopkins dan Antes adalah tes tersebut memiliki keseimbangan, spesifik dan objektif.[11] Keseimbangan dan kehususan (spesifikasi) berkaitan langsung dengan validitas, objektivitas berkaitan langsung dengan reliabilitas dan berkaitan tidak langsung dengan validitas, yaitu melalui keterkaitan antara validitas dan reliabilitas. Untuk memperoleh prangkat tes yang seimbang (proporsional) , dapat dilakukan dengan cara membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi) mengenai topik-topik yang akan dimasukan ke dalam perangkat tes. Untuk memperoleh butir-butir soal yang spesifik dapat dilakukan melalui identifikasi kompetensi dan tujuan-tujuan khusus pembelajaran, selanjutnya dijadikan dasar perumusan butir soal. Dengan cara-cara di atas, dapat diharapkan butir-butir soal yang dirumuskan dapat menjadi sampel yang representatif dalam perangkat tes itu.
Ebel mengemukakan lebih terinci lagi, ada 10 kriteria perangkat tes yang baik ; (1) relevansi, yaitu kesesuaian antara tes yang dikembangkan dengan kurikulum yang telah ditentukan, (2) keseimbangan antara tujuan pembelajaran khusus dengan jumlah butir soal yang mewakilinya, (3) efisien baik dalam pelaksanaan tes, pemberian skor dan pengadministrasiannya, (4) objektif dalam pemberian skor dan penafsiran hasilnya, (5) spesifikasi, yaitu tes hanya mengukur hal-hal khusus yang telah diajarkan, (6) tingkat kesukaran butir soal berada disekitar indeks 0,50 (7) memiliki kemampuan untuk membedakan antara kelompok siswa yang pandai dengan kelompok siswa yang assor, (8) memiliki tingkat reliabilitas yang cukup tinggi, (9) kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaan evaluasinya, (10) memiliki kecepatan (speed) yang wajar dalam penyelesaian tesnya.[12]
2. Bentuk Non Tes
a. Wawancara dan Quistioner
Sebagai alat penilaian, wawancara dan quistioner sangat efektif untuk menilai hasil belajar siswa yang berkaitan dengan pendapat, keyakikan, aspirasi, harapan, prestasi, keinginan dan lain-lain. Sebagai alat penilaian, wawancara memiliki kelebihan yaitu dapat berkomunikasi langsung dengan siswa, sehingga siswa dapat mengungkapkan jawaban dengan lebih bebas dan mendalam. Disamping itu, melalui wawancara dapat dibina hubungan yang lebih baik. Ada dua macam wawancara, pertama wawancara yang berstruktur dan yang kedua wawancara tidak berstruktur/bebas.
Seperti halnya wawancara, quistioner juga memiliki kelebihan yaitu bersifat praktis, hemat waktu dan tenaga. Namun demikian, questioner memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu seringkali jawaban yang diberikan tidak objektif, siswa memberi jawaban yang pura-pura. Wawancara juga ada dua macam, yang berstruktur dan tidak berstruktur. Yang berstruktu setiap pertanyaan sudah disediakan jawabannya, siswa tinggal memilih/mencocokannya. Sedangkan yang tidak berstruktur siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan jawabannya sendiri.
b. Skala
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat atau perhatian, yang disusun dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden yang hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang digunakan.
Ada dua jenis sekala yang sering digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa, yaitu sekala sikap dan sekala penilaian.
Skala sikap,
Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan seseorang berprilaku. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap stimulus yang datang pada dirinya. Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa katagori sikap, yakni mendukung, menolak atau netral.
Ada tiga komponen sikap yakni kognisi (berkenaan dengan pengetahuan tentang objek), afeksi (berkaitan dengan perasaan terhadap objek), dan konasi (berkaitan dengan kecenderungan berprilaku terhadap objek itu).
Ada beberapa bentuk skala yang biasa digunakan untuk menilai derajat sifat nilai sikap seseorang terhadap suatu objek, antara lain :
• Menggunakan bilangan , untuk menunjukan tingkat-tingkat dari sifat (objek ) yang dinilai. Misalnya, 1, 2, 3, 4 dan seterusnya.
• Menggunakan frekuensi terjadinya/timbulnya sikap itu. Misalnya; selalu, seringkali, kadang-kadang, pernah, dan tidak pernah.
• Menggunakan istilah-istilah yang bersifat kualitatif. Misalnya; bagus sekali, baik, sedang, dan kurang. Atau istilah-istilah; sangat setuju, stuju, tidak punya pendapat, tidak stuju, dan sangat tidak setuju.
• Menggunakan istilah-istilah yang menunjukan status/ kedudukan. Misalnya; paling rendah, di bawah rata-rata, di atas rata-rata, dan paling tinggi.
• Menggunakan kode bilangan atau huruf. Misalnya; selalu diberi kode 5, kadang-kadang 4, jarang, 3, jarang sekali 2, dan tidak pernah diberi kode bilangan 1.
Skala penilaian,
Skala penilaian mengukur penampilan atau prilaku siswa melalui pernyataan prilaku pada sutu titik kontinum atau suatu katagori yang bermakna nilai. Titik atau kategori itu diberi rentangan nilai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan ini bisa berupa hurup abjad (A, B, C, D) atau angka (1,2,3 4). Hal yang harus diperhatikan adalah kriteria sekala nilai, yakni penjelasan oprasional untuk setiap alternatif jawaban.
Skala penilaian lebih tepat digunakan untuk mengukur suatu proses, misalnya proses belajar pada siswa, atau hasil belajar yang berbentuk prilaku (performance), seperti hubungan sosial diantara siswa atau cara-cara memecahkan masalah.
c. Observasi
Observasi sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu atau terjadinya suatu proses kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situsi buatan. Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar seperti:tingkah laku siswa pada waktu belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas dan lain-lain.
Ada tiga jenis observasi yaitu observasi langsung, observasi dengan menggunakan alat (tidak langsung) dan observasi partisipasi. Ketiga jenis observasi itu digunakan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan dari kegiatan observasi tersebut.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam mengembangkan penilaian dengan menggunakan teknik observasi adalah sebagai berikut:
• Tentukan aspek kegiatan yang akan diobservasi. Aspek kegiatan ini mungkin berkaitan dengan kegiatan siswa secara individu, kegiatan siswa secara kelompok, interaksi guru dengan siswa, interaksi antara siswa dengan siswa dan lain sebagainya.
• Menentukan pedoman observasi yang akan digunakan. Tentukan bentuk pedoman observasi yang akan digunakan, apakah bentuk bebas (tidak perlu ada jawaban, tetapi mencatat apa yang nampak) atau pedoman yang berstruktur (memakai alternatif jawaban). Bila dipakai bentuk yang berstruktur, tetapkan pilihan jawaban serta indikator-indikator setiap jawaban sebagai pedoman dalam pelaksanaanya nanti.
• Melaksanakan observasi, yaitu mencatat tingkah laku yang terjadi pada saat kegiatan berlangsung. Cara dan teknik pencatatannya sesuai dengan format atau bentuk pedoman observasi yang digunakan.
• Mengolah hasil observasi.
d. Studi kasus
Studi kasus pada dasarnya mempelajari individu secara intensif yang dipandang memiliki kasus tertentu. Misalnya mempelajari anak yang sangat bandel/nakal, sangat rajin, sangat piter, atau sangat lamban dalam belajar. Kasus-kasus tersebut dipelajari secara mendalam, yaitu mengungkap segala variabel yang diduga menjadi penyebab timbulnya prilaku atau keadaan khusus tadi dalam kurun waktu tertentu. Tekanan utama dalam studi kasus adalah mencari tahu mengapa individu melakukan sesuatu dan apa pengaruhnya terhadap lingkungan.
Kelebihan studi kasus sebagai alat penilaian adalah subjek dpelajari secara mendalam dan menyeluruh, sehingga karakter individu tersebut dapat diketahui dengan selengkap-lengkapnya. Namun demikian, studi kasus sifatnya sangat subjektif, artinya informasi yang diperoleh hanya berlaku untuk individu itu saja, tidak dapat digeneralisir untuk individu lain sekalipun memiliki kasus yang hampir sama.
e. Sosiometri
Banyak ditemukan di lingkungan sekolah siswa yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Ia nampak murung, mengasingkan diri, mudah tersinggung, atau bahkan oper acting. Hal ini bisa dilihat ketika siswa sedang bermain atau sedang mengerjakan tugas-tugas kelompok. Gejala-gejala tersebut menunjukan adanya kekurang mampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kondisi ini perlu diketahui oleh guru dan dicarikan upaya untuk memperbaikinya, karena kondisi seperti itu dapat mengganggu proses belajarnya. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan siswa dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya adalah dengan teknik sosiometri. Dengan teknik ini dapat diketahui posisi siswa dalam hubungan sosialnya dengan siwa lainnya. Misalnya ada siswa yang terisolasi dari kelompoknya, siswa yang paling disukai oleh teman-temannya, siswa yang memiliki hubungan mata rantai, dan sebagainya.
Sosio metri dapat dilakukan dengan cara menyuruh siswa di kelas untuk memmilih satu atau dua teman yang paling disukainya. Usahakan tidak terjadi kompromi untuk saling memilih diantara siswa. Atau dapat pula siswa disuruh memilih siswa yang kuarang disukainya. Dengan cara di atas, dapat diketahui siswa-siswa mana yang menghadapi kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, kemudian diberi bantuan.
http://walangkramat.wordpress.com/2010/03/24/hakikat-evaluasi/
[1] Norman E. Gronlund, Measurement and Evaluation in Teaching, Fifth Edition (New York : McMillan Publising, 1985), p.5.
[2] Charles D. Hopkins & Richard L. Antes, Clasroom Measurement and Evaluation, Third Edition ( Indiana : F.E Peacok Publisher, Inc. , 1990), p.29.
[3] I b i d., p.7
[4] James Mursell, Mengajar dengan Sukses, terjemahan S. Nasution (Bandung : C.V Jemars),p.128
[5] I b i d., pp.122 – 139
[6] Gronlund, Constructing Achievement Tests , p.2
[7] I b i d,. p. 6.
[8] Zaenul dan Nasution, op. cit, pp.9-11.
[9] Gronlund, op . cit. ,pp. 8-14.
[10] Nana Sujana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung : P.T Remaja Rosdakarya, 1990), pp.8-9.
[11]. Hopkins and. Antes, op. cit. p. 269.
[12] Robert L. Ebel, Essentials of Educational Measurement (Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall, Inc. 1986).pp.35-55
Komentar