kepemimpinan dan Motovasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepemimpinan
Menurut Robbins (1996) kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju kepada pencapaian tujuan kelompok tersebut. Agar berhasil maka seseorang pemimpin haruslah:
1. mendapat keterikatan dan kerjasama dari kelompoknya
2. menggerakkan kelompoknya untuk mencapai sasaran yang telah disetujui
3. menggunakan ketrampilan, energi serta bakat kelompoknya.
Dalam kepemimpinan di organisasi sebuah rumah sakit pertumbuhan dan perkembangan perumahsakitan direktur sebagai pemimpin harus mendapat keterikatan dan kerjasama dari kelompok-kelompok fungsional yang beraneka rupa dengan strata pendidikan yang beragam. Kemampuan menggerakkan kelompok fungsional ini dengan sinergisitas agar kinerja pelayanan dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan dan memenuhi harapan pemilik rumah sakit.
Menurut Koontz & O’Donnell (1990), kepemimpinan adalah pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias. Kemauan yang tertera disini menurut penulis adalah motivasi yang tumbuh dari hati nurani anggota kelompok yang diwujudkan dengan penuh rasa tanggung jawab guna mencapai tujuan organisasi. Setiap kelompok yang bekerja biasanya memiliki orang tertentu sebagai pemimpin yang berkemampuan mengarahkan dan mempengaruhi usaha untuk mencapai tujuannya. Kemampuan ini sedikitnya terdiri dari 4 (empat) unsur utama yaitu:
1. kekuasaan dan kewenangan;
2. pemahaman tentang motivasi;
3. kemampuan untuk mendorong para pengikut guna mencurahkan segenap kemampuan yang dimiliki dalam satu pekerjaan; dan
4. gaya kepemimpinan dan suasana yang diciptakan melalui gaya hidup.
Kepemimpinan itu merupakan inti dari organisasi dan inti dari manajemen, kepemimpinan itu berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian tujuan tertentu (Kartono, 1994), Kepemimpinan menurut Stoner cit Handoko (1998), adalah suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya, sedangkan menurut Thoha (1998) dalam hubungan dengan perilaku pemimpin ada dua hal yang biasa dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahan atau pengikutnya yaitu: perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung.
Berdasarkan pengertian di atas, maka ada 3 (tiga) implikasi penting, yaitu: 1) kepemimpinan menyangkut orang lain, yaitu bawahan atau pengikut. Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pimpinan para anggota kelompok yang menentukan status kedudukan pemimpin dan membuat proses kepemimpinan dapat berjalan. Tanpa bawahan, semua kualitas kepemimpinan seorang manajer akan menjadi tidak relevan, 2) kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang diantara pemimpin dan anggota kelompoknya. Para pemimpin memiliki wewenang untuk mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok tidak dapat mengarahkan kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung mesekipun dapat juga melalui sejumlah cara secara tidak langsung; dan 3) selain dapat memberikan pengarahan kepada para bawahan atau pengikut, pemimpin dapat juga mempergunbakan pengaruh. Dengan kata lain: para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan tetatpi juga dapat mermpengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya.
Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam setiap organisasi karena dapat menentukan kesuksesan maka pemimpin akan mendapatkan pujian dan atau kegagalan sebuah organissasi maka pemimpin akan mendapat teguran atau kritik dari stake holdernya dan atau bawahannya. Jadi salah satu elemen pokok yang menjadi perhatian setiap organisasi yaitu bagaimana caranya untuk menarik, melatih dan mempertahankan orang-orang yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif (Mukhlas, 1996). Kepemimpinan mengandung arti bahwa seorang pemimpin mempengaruhi orang lain (bawahannya) supaya lebih bekerja keras dalam tugasnya, atau meruibah kelakuan (As’sd, 1982).
Pekerja akan lebih puas kepada pemimpin yang penuh pertimbangan dan bersifat mendukung dari pada pemimpin yang bermusuhan dengan bawahannya (Savitri, 1997). Dalam kepemimpinan model jalan-tujuan, dijelaskan bahwa pemimpin akan efektif apabila dapat memberikan bimbingan, motivasi dan dukungan untuk mencapai tujuan, serta memberikan kepuasan bagi pengikutnya (Gibson et al,. 1995). Secara keseluruhan pendapat ini memberikan arti betapa pentingnya pemimpin bagi organisasi. Keberhasilan organisasi sangat dipengaruhi oleh dinamika dan efektifitas pemimpin, seperti yang disampaikan Hersey dan Blanchard (1990). Wexley dan Yukl (1988) mengemukakan hal yang sama bahwa pemimpin yang efektif sangat diperlukan bagi suatu organisasi atau perusahaan agar mampu berkembang dan sukses meraih tujuan.
Gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang diperlihatkan secara konsisten pada saat mempengaruhi orang yang kemudian dipersepsikan oleh orang lain yang diterapkan dalam bekerja dengan dan memalui orang lain (Hersey & Blanchard, 1990). Penting disadari bagi manajer untuk memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, penting diingat bahwa gaya itu bukanlah soal pendapat pemimpin tentang perilaku mereka sendiri dalam situasi, tetapi cara persepsi orang lain tentang perilaku pemimpin. Hal ini seringkali merupakan konsep yang sukar dipahami para pemimpin.
Setiap manusia pada dasarnya adalah pemimpin, memimpin dirinya sendiri dan orang-orang lain di sekitarnya untuk mencapai tujuan bersama. Memimpin berarti membangun sebuah tim yang dapat secara efektif dan efisien meraih sasaran yang tepat. Karena sesungguhnya setiap orang, tidak peduli siapapun dia, selalu terlibat atau melibatkan diri dalam pembangunan suatu tim. Manusia diciptakan untuk menjadi pemain tim dan dirancang untuk berfungsi dalam jalinan dan hubungan saling ketergantungan dengan orang lain ((interdependence) dalam istilah Stephen Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People).
Fungsi seorang pemimpin adalah membangun sebuah tim yang dapat menghasilkan sinergi. Apa yang kita bicarakan ini berkaitan dengan misteri atau keajaiban yang sulit dipahami yang sering disebut dengan sinkronisasi (synchronicity). Artinya suatu momen ketika keseluruhan tim bergerak sebagai satu kesatuan, semua energi tim berdenyut dalam kesatuan, dalam kesearahan, dan harmonis mengalir tak terbendung ke arah sasaran atau tujuan bersama. Konsep ini berarti bahwa setiap individu dalam tim yang memberikan kontribusi terhadap penciptaan sinergi untuk mencapai tujuan bersama adalah seorang pemimpin. Inilah merupakan paradigma baru dalam kepemimpinan, yang berbeda dengan konsep kepemimpinan konvensional yang selalu memandang dalam perspektif pemimpin--pengikut (leader followers). Dalam konsep ini setiap anggota tim memiliki peran dan fungsi yang berbeda, sehingga tidak ada superioritas subordinasi yang membentuk pola hubungan patron client: elite dan rakyat, atasan bawahan, orang-tua anak, ulama-umat, dan sebagainya.
Kunci dari terciptanya sinergi pada suatu tim adalah kemampuan setiap individu anggota tim tersebut. Sehingga untuk meningkatkan keragaan (performance) suatu tim tidak terlepas dari upaya mengoptimalkan dan meningkatkan keragaan individu. Padahal yang diperlukan oleh individu anggota tim adalah kemampuan mengoptimalkan potensi diri, untuk belajar (skill of learning) secara terus menerus, dan kemampuan berinteraksi dengan sesama anggota tim maupun dengan individu di luar tim (skill of life: communication and networking) sehingga dia dapat mengoptimalkan fungsi dan peranannya dalam kesatuan tim.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perusahaan atau organisasi tidak dapat berkembang dan mencapai sasarannya, kecuali jika setiap individu di dalamnya mengalami transformasi dan senantiasa belajar untuk mengoptimalkan dirinya. Organization does not transform. People do. ------ Corporate does not learn. People do. Sehingga dengan memahami konsep ini sebuah kepemimpinan tidak akan berarti ketika anggota tim tidak mengalami transformasi atau perubahan positif. Semakin tinggi kualitas individu dalam tim dan keseluruhannya mampu menciptakan sinergi semakin tinggi pula performance dan efektivitas tim tersebut dalam mencapai sasaran bersama.
Dalam bukunya Global Paradox, John Naisbitt pernah mengungkapkan hal ini ketika dia mengkritisi peranan elite politik dalam kehidupan sebuah masyarakat. Kita tidak perlu wakil-wakil rakyat yang menganggap diri mereka memiliki pengetahuan dan informasi untuk mengambil keputusan bagi kita. Kita memiliki informasi dan pengetahuan yang sama untuk mengambil keputusan bersama demi kepentingan bersama.
Berangkat dari dasar pemikiran di atas, maka konsep kepemimpinan dalam manajemen diri adalah berupa pendekatan baru tentang bagaimana setiap kita dapat mengoptimalkan potensi diri dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain (terutama dengan individu sesama anggota tim) sehingga kita mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi terciptanya sinergi untuk mencapai sasaran tim bersama-sama. Kepemimpinan lebih diartikan sebagai kemampuan untuk memimpin dan mengelola diri (manajemen diri) sehingga dapat memberi kontribusi bagi penciptaan sinergi untuk mencapai tujuan atau sasaran tim. Sedangkan tim diartikan sebagai apapun wadah dua orang atau lebih bekerja bersama-sama atau dalam satu kebersamaan untuk mencapai sasaran atau tujuan bersama. Tim bisa berarti keluarga, kelas, klub olah raga, kantor pemerintah, perusahaan, organisasi sosial, partai politik, bahkan sebuah masyarakat atau bangsa.
Untuk membangun kepemimpinan berdasarkan tim (teamwork-based leadership) yang efektif diperlukan lima hal pokok (ingredients) yang dapat dijadikan acuan untuk menilai atau mengevaluasi keragaan (performance) sebuah tim yaitu V.O.I.C.E. Vision (visi atau sasaran yang disepakati oleh seluruh anggota tim atau lebih jelas dikatakan sebagai shared vision). Setiap anggota tim mengetahui dan memahami secara jelas sasaran yang ingin dicapai timnya. (Kenneth Blanchard dan Spencer Johnson, ...........). Optimizing (mengoptimalkan kemampuan individu dalam tim). Ini berarti melengkapi setiap anggota tim dengan kemampuan untuk mengenali potensi dirinya, kemampuan untuk mendayagunakannya, serta kemampuan untuk belajar guna meningkatkan potensi dirinya secara terus menerus. Pendeknya, kepemimpinan berarti menginspirasi, memotivasi dan menumbuhkan antusiasme kepada diri sendiri atau sesama anggota tim untuk mengoptimalkan kemampuannya. Integrity. Setiap anggota tim apalagi yang merasa dirinya pemimpin harus mampu menunjukkan integritas sehingga tercipta rasa saling percaya dan saling menghargai dalam tim yang pada gilirannya dapat menciptakan sinergi positif untuk mencapai sasaran secara lebih cepat dan efisien. Integritas adalah sifat yang dapat dipercaya, selalu menepati janji, jujur, memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas atau terhadap apapun yang telah disepakatinya, serta memiliki karakter yang baik dan solid. Integritas berarti satunya kata dan perbuatan, serta senantiasa konsisten dengan apa yang diyakininya. Communication. Dalam hal ini komunikasi berarti interaksi antar individu anggota tim sehingga tercipta sinergi kelompok. Setiap anggota tim harus dapat mengerti dan memahami anggota yang lainnya. Inilah yang disebut Covey (7 Habits of Highly Effective People) dengan komunikasi empatetik atau berusaha untuk mengerti sebelum dimengerti. Kunci dasar kemenangan sebuah tim adalah pada kelancaran komunikasi diantara anggota tim. Komunikasi berarti menciptakan irama dan getaran harmonisasi yang melingkupi seluruh anggota tim, mengalir dan membawa seluruh anggota tim ke arah tujuan dan sasaran bersama. Empowering. Setiap anggota tim harus memberdayakan satu sama lain, saling mengisi, saling memberi inspirasi dan saling membangun antusiasme di antara mereka. Seorang pemimpin dalam tim harus memiliki kemampuan untuk memberdayakan anggota timnya. Memberdayakan anggota tim memiliki tiga aspek penting, yaitu: pertama, membantu seseorang untuk menggali dan menemukan potensi diri dan hal-hal terbaik dalam diri mereka, serta membantu mereka menjadi apa yang terbaik bagi diri mereka. Kedua, membantu untuk melakukan penyempurnaan diri secara terus menerus, dan ketiga membantu mereka dalam berinteraksi dengan orang lain.
Dengan kelima unsur pokok tersebut dapat tercipta kepemimpinan yang didasarkan tim (teamwork-based leadership). Hal ini berarti bahwa kita semua perlu melakukan manajemen diri yang sebaik-baiknya untuk menjadi seorang pemimpin dalam bidang apapun dan sekaligus menjadi anggota tim yang efektif sehingga dapat menumbuhkan sinergi untuk mencapai sasaran bersama
A. 1. Pendekatan-pendekatan Studi Kepemimpinan
Penelitian-penelitian dan teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai pendekatan kesifatan, perilaku dan situasional (contigency). Studi ini memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (trails) yang tampak. Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin itu, sifat fisik dan sifat psikologis yang menimbulkan anggapan bahwa untk menjadi pemimpin yang berhasil sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi si pemimpin.
Kemampuan pribadi yang dimaksud ialah kulitas seseorang dengan berbagai macam sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Oleh karena itu timbul usaha para ahli untuk meneliti yang merinci lebih jauh kualitas seseorang pemimpin yang berhasil didalam melaksanakan tugas tugas kepemimpinannya, kemudian hasil-hasil tersebut dirumuskan dalam sifat-sifat umum seorang pemimpin, usaha tersebut akhirnya melahirkan dan berkembang menjadi teori kepemimpinan yang disebut teori sifat kepemimpinan atau traits theory of leadership.pendekatan yang kedua bermaksud mengidentifikasikan prilaku-prilaku (behavior) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Pendekatan prilaku yang berlandaskan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan gaya bersikap dan bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya bersikap atau bertindak akan tampakdari cara memberikan perintah, cara memberi tugas, cara berkumunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahannya, cara memberikan bimbingan dan sebagainya.
Salah satu gaya kepemimpinan yang berdasarkan atas pendekatan prilaku adalah gaya kepemimpinan otoriter, demokrasi dan liberal yang dikemukakan Lippit dan White (disitasi oleh Sutarto,1991). Untuk gaya kepemimpinan otoriter adalah mempengaruhi orang lain agar bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan segala kegiatan yang akan diputuskan oleh pemimpin semata-mata. Penerapan gaya kepemimpinan otoriter dapat mendatangkan keuntungan antara lain berupa kecepatan dan ketegasan dalam dalam pembuatan keputusan serta bertindak, sehingga untuk sementara mungkin produktivitas akan meningkat. Kepemimpinan otoriter hanya dapat diterapkan dalam organisasi yang sedang dalam keadaan darurat karena sendi-sendi kelansungan hidup organisasi ternacam, apabila keadaan darurat telah selesai, gaya ini harus segera ditinggalkan.
Gaya kepemimpinan demokratis adalah kemampuan yang mempengaruhi orang lain agar bersedia berkerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan, ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahann penerapan gaya kepemimpinan demokratis dapat mendatangkan keuntungan antara lain berupa keputusan serta tindakan yang lebih obyektif, tumbuh rasa ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi. Sedangkan kelemahaan gaya ini antara lain keputusan atau tindakan kadang-kadang lamban, rasa tanggung jawab kurang, keputusan yang dibuat bukan merupakan keputusan yang terbaik.
Gaya kepemimpinan liberal adalah kemampuan mempengaruhi orang lain bersedia berkerja sama untuk mencapai tujauan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak diserahkan pada bawahan. Penerapan gaya kepemimpinan ini dapat mendapatkan keuntungan antara lain para anggota atau bawahan akan dapat mengembangkan kemampuan dirinya, tetapi kepemimpinan ini membawa kerugian bagi organisasi antara lain berupa kekacauan karena tiap pejabat berkerja menurut selera masing-masing. Kedua pendekatan di atas mempunyai anggapan bahwa seorang individu mempunyai sifat-sifat tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi organisasi apapun tempat dia berada.
Pandangan situasional (contigency) menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektivitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi, tugas yang dilakukan, keterampilan dan penghargaan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan. Pandangan ini telah menyebabkan pendekatan contigency pada kepemimpinan untuk menetapkan faktor-faktor situasional menentukan seberapa besar efektivitas situasi gaya kepemimpinan tertentu. Oleh karena dalam kepemimpinan situasi penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan diagnosis dengan baik tentang situasi. Pemimpin yang baik harus mampu mengubah-ubah perilakunya sesuai dengansituasi dan mampu memperlakukan bawahan sesuai dengan kebutuhan dan motif yang berbeda-beda.
Menurut Zurlinden et al., (1990): dengan gaya kepemimpinan situasional seorang dapat berhubungan dengan orang lain dan dengan situasi secara lebih efektif dan fleksibel dan menolong mempertahankan para pegawai untuk tidak pindah dari unti kerjanya masing-masing. Semua variabel situasi seperti waktu, tuntutan tugas, iklim organisasi, harapan dan kemampuan adalah sangat penting yaitu tingkah laku pemimpin dalam hubunghannya dengan para karyawan/ bawahannya. Dengan demikian gaya kepemimpinan cenderung berbeda dari situasi yang satu ke situasi yang lain karena pokok bahasan/masalah akan berorientasi pada masalah situasional leadership, maka pendekatan yang digunakan adalah gaya kepemimpinan yang dikenmukakan oleh Hersey dan Blanchard (1990) yang meliputi 4 (empat) gaya kepemimpinan, yaitu:
1. gaya kepemimpinan direktif, ditandai dengan adanya komunikasi satu arah. Pemimpin membatasi peranan bawahannya, apa, bagaimana, kapan, dimana dan bagaimana sesuatu tugas dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi tanggung jawab pemimpin.
2. gaya kepemimpinan konsultatif, masih memberikan direktif yang cukup besar serta ikut dalam menetapkan keputusan-keputusan. Beda dari tipe direktif gaya kepemimpinan ini memiliki konsultasi dua arah dan memberikan support terhadap bawahan. Pemimpin mau mendengarkan keluhan dan perasaan bawahan mengenai keputusan yang diambil. Sementara itu bantuan terhadap bawahan ditingkatkan, pelaksanaan tetap ada pada pimpinan.
3. gaya kepemimpinan partisipatif, kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan antara pemimpin dan bawahan dalam keadaan seimbang. Pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin meningkat. Pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya. Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan masalah dan dalam pengambilan keputusan makin bertambah, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan memiliki kecakapan dan pengetahuan yang luas untuk mampu melaksanakan tugas dan menyelesaikan tuntutan tugas dan tanggung jawab.
4. gaya kepemimpinan delegatif, pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi dengan bawahan dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan kepada bawahannya secara keseluruhan. Selanjutnya hak bawahan untuk menentukan langkah bagaimana keputusan dilaksanakan, diberikan wewenang untuk menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan keputusan sendiri, sebab mereka dianggap telah memiliki kecakapan dan dapat dipercaya untuk memikul tanggung jawab mengarahkan dan mengelola dirinya sendiri, masalah dan pelaksanaan kegiatan dari keputusan yang ditetapkan.
A.2. Efektifitas Gaya Kepemimpinan
Titik temu antara keempat gaya kepemimpinan di atas sangat tergantung pada situasi yang ada pada organisasi, dan tergantung terhadap tingkatan perkembangan dan kompetensi karyawan. Efektifitas kepemimpinan seseorang tergantung pada dua hal yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa (kedewasaan psikologis) para bawahan yang dipimpin (Siagian, 1998). Untuk memilih gaya kepemimpinan yang akan digunakan perlu dipertimbangkan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Haris (1993) membaginya dalam empat faktor yaitu: Faktor dalam organisasi, faktor pimpinan, faktor bawahan dan faktor situasi penugasan.
Penggunaan gaya kepemimpinan direktif menjadi efektif apabila para bawahan berada dalam kedewasaan yang rendah yaitu pada tahap awal misalnya saat bawahan baru memasuki organisasi tertentu yang sangat memerlukan berbagai penjelasan tentang tugas, wewenang serta tanggung jawab yang harus dipikul. Kepada bawahan ini juga masih harus diterangkan berbagai peraturan yang berlaku. Pada tingkat ini pemimpin harus banyak memberi perintah-perintah, meminta laporan-laporan, sebab apabila tidak demikian maka para bawahan tidak akan melakukan tugasnya dan kinerja organisasi jadi statis.
Penggunaan gaya kepemimpinan konsultatif menjadi efektif apabila tingkat kedewasaan bawahan sedang bergerak dari tingkat rendah ke tingkat sedang/ menengah, yaitu pada tahap ke-dua dimana bawahan sudah mulai cukup mengenal peraturan yang berlaku walaupun belum menguasai dengan sungguh-sungguh. Maka pemimpin harus banyak memberikan pengarahan, perintah serta meminta laporan meskipun sudah tidak sebanyak pada tahap awalnya.
Penggunaan gaya kepemimpinan delegatif menjadi efektif apabila tingkat kedewasaan bawahan sudah tinggi yaitu pada tahap dimana para bawahan/ karyawan sudah benar-benar dapat menguasai peraturan kebijakan, mampu melaksanakan tugas dan melaksanakan wewenang serta tanggung jawabnya secara akuntabilitas dan berkinerja baik, para bawahan telah tumbuh menjadi bawahan yang berpengalaman, yang tinggi tingkat kemampuan dan kemauannya untuk berkarya dengan prestasi yang tinggi dan bersinergis.
Menurut Hersey dan Blanchard( disitasi oleh sutarto, 1991) tingkat kematangan bawahan terdri dari 2 dimensi yaitu: a) kematangan kerja (job maturity) dan b) kematangan jiwa (psychological maturity). Kematangan keerja berhubungan dengan kemampuan (ability) sedangkan kematangan jiwa berhubungan dengan kemauan (wilingness). Tingkat kematangan bawahan ini dirinci menjaci empat yaitu: a) tingkat kematangan rendah, dangan ciri tidak mampu dan tidak mau atau tidak mantap; b) tingkat kematangan rendah ke tingkat madya, dengan ciri tidak mampu tetapi mau atau yakin; c) tingkat kematangan madya ke tingkat tinggi, mampu tapi tidak mau atau tidak mantap; d) tingkat kematangan tinggi, dengan ciri mampu/cakap serta mau dan yakin.
Maslow (disitasi oleh Robbins, 1996) menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh adanya keinginan untuk dapat terpenuhinya kebutuhan yang lebih dari satu macam. Ia menyatakan bahwa didalam semua manusia ada satu jenjang dari lima kebutuhan tersebut, kelima kebutuhan ini berjanjang, artinya apabila kebutuhan jenjang pertama yang pada tingkat awal mengutama sudah terpenuhi, maka kebutuhan kedua akan muncul mengutma, dan apabila kebutuhan jenjang kedua sudah terpenuhi, maka kebutuhan ketiga akan muncul mengutma, demikian seterusnya sampai dengan terpenuhinya kebutuhan jenjang kelima. Kelima jenjang kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
a) kebutuhan fisik (fisiologi = physiological need) di sini kebutuhan akan rasa lapar, haus, perlindungan, seks, serta kebutuhan lainnya;
b) keamanan(safety need)
B. Motivasi
Motivasi memiliki dampak vital terhadap selektifitas persepsi, dan persepsi mempunyai dampak penting pada motivasi. Karakteristik pribadi dapat mempengaruhi persepsi seperti sikap, motif, interes, pengalaman masa lalu. Target persepsi mempengaruhi apa saja yang dipersepsikan. Persepsi akan mempengaruhi pembuatan keputusan dan kualitas keputusan, termasuk pertimbangan tindakan (Muchlas, 1997).
Ada 4 fungsi manajemen secara umum, yaitu merencanakan (planning), mengorganisir (organizing), memimpin (leading) dan mengontrol (controling). Namun setiap tingkat manajemen masing-masing memiliki porsi fungsi yang berbeda. Menurut sebuah penelitian yang dilaporkan Doughtrey & Ricks (1994) porsi fungsi tersebut antara lain dilihat dari waktu yang dipergunakan untuk bekerja. Porsi waktu yang terbesar dari kegiatan memimpin atau memotivasi mencapai 36% dari keseluruhan waktu kerjanya. Porsi tersebut secara jelas terlihat pada gambar di bawah ini:


Gambar 1
Proporsi waktu supervisor dalam menjalankan fungsi manajerial

Secara kumulatif performance tersebut akan meningkatkan kualitas dan produktivitas pelayanan. Produktivitas dapat didefinisikan dengan perbandingan antara output dengan input.

Output
= Produktivitas
Input

Input adalah sumber daya (resources) yang dipergunakan dalam sebuah kegiatan, berupa pegawai, material, perlengkapan, waktu dan modal. Output adalah sesuatu hal yang merupakan hasil produksi, baik barang maupun jasa. Istilah produktivitas akan merujuk kepada jumlah barang atau jasa yang dihasilkan seorang pekerja perperiode tertentu; jam, hari atau minggu. Pengukuran produktivitas merupakan salah satu fungsi kontrol dari manajemen. Secara historis produktivitas merupakan tanggung jawab utama pimpinan. Untuk meningkatkan produktivitas terdapat 3 area penting yang akan menentukan, yaitu: produk (product), proses (process) dan manusia (people).
Produk adalah hasil akhir dari sebuah produk (barang atau jasa), pertanyaan yang harus muncul adalah dapatkah dihasilkan sebuah produk yang memiliki kualitas tinggi?. Proses akan berkaitan dengan pertanyaan “Dapatkah alur kerja dirancang dengan sangat efisien?, dapatkah setiap langkahnya dibuat lebih sederhana?. Manusia, akan bekaitan dengan pertanyaan apakah orang yang ada terlalu banyak, atau terlalu sedikit? apakah keterampilan yang dimiliki oleh orang tersebut sudah sesuai dengan tugas yang dibebankan?. Apakah banyak yang mangkir, atau masalah penurunan moral kerja, bagaimana cara memotivasi kerja bawahan?. Jawaban atas semua pertanyaan di atas akan dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Bahwa untuk meningkatkan produktivitas perlu memfokuskan kepada aspek manusianya. Telah berkembang konsep manajemen yang dianggap berhasil meningkatkan produktivitas kerja, yaitu pelibatan para pekerja dalam pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan pekerjaan, sehingga merupakan bentuk manajemen partisipatif, konsep ini dikenal dengan nama Quality of Worklife (QWL) Programme. QWL merupakan kumpulan aktivitas yang dilakukan pada setiap level organisasi untuk menemukan cara meningkatkan efektifitas organisasi melalui perluasan perhargaan terhadap martabat manusia dan pertumbuhan. Inti program QWL adalah upaya untuk mendorong para pekerja untuk berpartisipasi dalam menentukan suatu keputusan yang berpengaruh terhadap pola kerja mereka sehari-hari. Cara seperti ini akan menstimulasi pekerja untuk membuat pekerjaan dan lingkungan kerjanya lebih nyaman.
Konsep QWL memiliki asumsi, bahwa terdapat hubungan antara keterlibatan pekerja dengan produktivitas. Asumsi ini didukung oleh beberapa teori motivasi, seperti teori hirarki kebutuhan dari Maslow dan teori 2 fakor dari Herzberg. Teori-teori tersebut menyatakan bahwa orang yang termotivasi akan dapat menghasilkan performa yang lebih tinggi. Performa yang tinggi dari setiap individu secara kumulatif akan menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi. Melalui QWL para pegawai dapat mengontrol sendiri pelaksanaan tugasnya, mereka akan merasa telah memancangkan sendiri tujuan organisasi yang harus dicapai. Hal ini dapat dijelaskan dengan dasar teori mengenai motivasi, baik dari Maslow maupun dari Herzberg.

Aktualisasi diri Faktor-faktor motivasional
Pengakuan Prestasi, pengakuan, peningkatan Pekerjaan, potensi untuk tumbuh, tanggung jawab
Sosial Faktor-faktor “hygiene”
Hubungan antar pribadi
Rasa aman Kawan, atasan, bawahan, kebijakan perusahaan, keamanan kerja
fisiologis Kondisi kerja, gaji dan kehidupan pribadi


Gambar : 3
Perbandingan antara hirarki kebutuhan Maslow dan teori 2 faktor dari Herzberg

Maslow mendasarkan teori kepada asumsi bahwa perilaku manusia pada dasarnya didasarkan atas kebutuhan. Teori Maslow mengklasifikasikan kebutuhan ke dalam 5 kelompok dan disusun dalam bentuk hirarki. Hirarki berarti ketika suatu kebutuhan terpenuhi, kebutuhan lain akan muncul untuk segera dipenuhi, dengan demikian suatu kebutuhan (need) dalam hirarki yang atas hanya akan terpenuhi apabila hirarki di bawahnya sudah terpenuhi. Berdasarkan teori ini dapat dinyatakan bahwa suatu kebutuhan akan tergantung kepada kebutuhan apa yang telah dipenuhi dan hanya kebutuhan yang belum terpenuhi saja yang dapat memotivasi perilaku manusia. Jika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, maka kebutuhan yang lebih tingginya akan memotivasi kebutuhan yang ada di atasnya.
Berbeda halnya dengan Maslow yang aplikasi teori untuk lingkup umum, maka teori 2 faktor dari Herzberg didasarkan atas penelitiannya dalam lingkup kerja. Herzberg membagi teori motivasinya ke dalam 2 dimensi, yaitu ketidakpuasan atau disebut dengan hygiene atau pemelihara dan kepuasan disebut dengan motivator. Faktor Hygiene adalah faktor yang harus ada, “keberadaanya” tidak memberikan dampak apapun, tetapi apabila “ketiadaanya” akan menyebabkan ketidakpuasan. Sedangkan faktor motivasional adalah faktor-faktor yang “ketiadaanya” tidak memberikan efek apapun, dan “keberadaanya” akan menumbuhkan motivasi. Pada gambar 3 di atas mengenai perbandingan teori Maslow dan Herzberg. Faktor Hygiene dari Herzberg serupa dengan hirarki yang rendah dari Maslow. Sedangkan faktor motivasional setara dengan hirarki yang atas dari Maslow. Program QWL akan membuat faktor-faktor motivasional para pekerja muncul, sehingga akan memberikan motivasi tinggi untuk bekerja.
Manajemen partisipatif dalam program QWL meskipun memiliki bukti empirik yang lebih baik dalam meningkatkan produktivitas kerja, tidak selalu berhasil diterapkan di semua organisasi. Ada 2 penyebab terjadinya kegagalan dalam melaksanakan manajemen partisipatif, yaitu : Pertama, Resistensi terhadap manajemen partisipatif. Tidak semua supervisor mau menerima konsep ini. Daughtrey & Ricks (1994) melaporkan beberapa bentuk penolakan supervisor terhadap QWL. Secara jelas dapat terlihat pada tabel 1.

Tabel 1: Resistensi Supervisor Terhadap Manajemen Partisipatif

No Tipe Penyebab Resistensi Ciri-ciri Perilaku
1. Pendukung teory X Konsep yang ada berlawanan dengan sistem kepercayaannya Komentar yang akan muncul “bawahan kan masih kekanakan tidak dewasa dan mereka akan mengambil keuntungan dari program ini untuk melepaskan diri dari tugas”
2. Pencari status Mereka khawatir kehilangan prestise jabatannya Tidak memiliki keinginan untuk melepaskan kontrol terhadap perilaku bawahan. Takut kehilangan peran pemimpin, komentar yang sering keluar “supervisor tidak sama dengan pekerja, mereka harus selalu dipimpin”.
3 Peragu Mereka ragu akan kesungguhan dan dukungan dari manajemen yang lebih tinggi Komentar yang akan muncul, “program ini tidak berbeda dengan yang terdahulu, beberapa bulan lagi berhenti. Masalahnya ada pada orang-orang atas mereka tidak benar-benar melaksanakan apa yang mereka programkan”.
4. Pencari kesamaan Mereka merasa bahwa mereka akan memotong jalan dan meninggalkan program tersebut Komentar yang akan muncul adalah “ mengapa mesti kita yang berubah sebelum para pekerja itu yang berubah duluan. Tidak supportif “melepas tanggung jawab atas masalah yang muncul.
5. Pembuat kesepakatan Program hanya mengganggu hubungan orang perorang dalam bekerja Komentar yang akan keluar adalah Kekuasaan saya sudah dipotong dan kita tidak bisa lagi mengontrol proses

Bentuk resistensi pertama, disebabkan oleh cara pandang yang berbeda terhadap manusia. Pendukung Teori X Mc Gregor, tidak akan dapat menerapkan manajemen partisipatif, karena tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahnnya, pandangan mereka terhadap manusia yang bekerja negatif. Berikut ini rumusan Teori Mc Gregor yang berisi asumsi terhadap manusia
Tabel 2: Teori X dan Y Mc Gregor, Mengenai Asumsi Terhadap Manusia
No Teori X Teori Y
1 Manusia pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin akan menghindarinya. Mengeluarkan upaya fisik dan mental dalam bekerja merupakan hal yang alami seperti halnya bermain atau istirahat
2 Manusia harus dipaksa, diawasi, diarahkan dan diancam supaya mereka mengerjakan tugas-tugasnya. Orang dapat mencoba untuk mengarah kan dan mengawasi diri sendiri untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan
3 Rata-rata manusia itu lebih suka untuk diarahkan, menghindari tanggung jawab dan relatif sedikit memiliki ambisi. Rata-rata manusia, dalam kondisi yang tidak tepat akan belajar tidak hanya menerima tetapi juga mencari tanggung jawab.

Seorang pemimpin yang memiliki pandangan X terhadap manusia akan memperlakukan cara-cara menghukum, otoriter terhadap bawahannya, tidak akan dapat menerima konsep supervisi yang memberdayakan. Sepanjang kepemimpinan dilaksanakan dengan kontrol yang ketat dan memperlakukan bawahan sebagai anak kecil “bandel” yang harus terus menerus di awasi dan tidak diberi kepercayaan akan tugasnya. Sedangkan bentuk resistensi berikutnya berkaitan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi (ingat teori Maslow mengenai Hirarki kebutuhan) dan pendukung status quo yang anti distabilitas.
Kedua, Kegagalan dalam berkomunikasi dan memotivasi bawahan. Daughtrey & Ricks, (1994) menyatakan bahwa penyebab dari kegagalan melaksanakan kegiatan kepemimpinan adalah rendahnya keterampilan membangun hubungan personal (human skill) secara efektif, tidak dapat menjalin komunikasi dan tidak dapat menciptakan atmosfir kerja yang motivatif. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para supervisi yang gagal, menyebutkan bahwa penyebab dari kegagalan menjalankan supervisi adalah: sikap yang buruk terhadap bawahan, kegagalan dalam mengelola tugasnya sendiri, disiplin yang rendah dan serta kurang memiliki keterampilan berkomunikasi.
Kegagalan menjalankan kepemimpinan akan menghambat kinerja dan menurunkan produktivitas organisasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu mengurangi terjadinya resistensi dan meningkatkan keterampilan teknik dalam berkomunikasi. Meskipun harus diakui hal ini tidak bisa menuntaskan semua permasalahan, tetapi akan membuat situasi kerja akan lebih kondusif.
Nilai dan pandangan hidup seseorang cenderung menetap dalam waktu yang lama, tidak terlalu mudah untuk berubah. Demikian halnya dengan pandangan pemimpin mengenai orang yang menjadi bawahannya. Bagi para penganut teori X tidaklah mudah untuk merubah pandangannya dan berubah menjadi penganut teori Y. Mereka tidak sepenuhnya salah karena memiliki cukup bukti bahwa tidak semua bawahan dapat dipercaya, memiliki motivasi kerja yang tinggi sehingga tidak perlu diawasi, walaupun mungkin ada maka jumlahnya tidaklah banyak. Namun perlu disadari bahwa manusia berbeda-beda dan seorang pemimpin adalah pemimpin kelompok, untuk itu perlu memiliki kemampuan untuk memimpin. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mengenali bawahannya. Dengan bawahan yang memiliki berbagai karakter diperlukan suatu model kepemimpinan yang dapat melingkupi berbagai karakter yang ada. Salah satu model kepemimpinan yang diselaraskan dengan kondisi bawahan, adalah kepemimpinan situasional. Pendekatan ini dikemukakan oleh Hersey (cit, Miner, 1994). Situasi yang dimaksud adalah kondisi siapa yang dipimpin. Seorang pemimpin akan menggunakan teknik kepemimpinan tertentu tergantung kesiapan bawahannya.



High Moderate Low
R4 R3 R2 R1
Able & willing or
motivated Able but unwillng
or unsecure Unable but willing
or motivated Unable & unwilling
Or unsecure

Gambar 4
Model kepemimpinan dari Hersey
Hersey merumuskan 4 (empat) gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan kesiapan bawhannya. Hersey mendefinisikan kesiapan (readiness) sebagai cara bagaimana seseorang menyelesaikan sebuah tugas. Rendahnya tingkat kesiapan (R1) berarti bawahan/staf tidak mampu dan tidak mau untuk menyelesaikan suatu tugas. Ini berarti diperlukan gaya tinggi tugas rendah hubungan (high task dan low relation) atau disebut dengan gaya “telling”. Dalam hal ini bawahan tidak memiliki keterampilan untuk bekerja dan tidak memiliki dan keinginan untuk belajar. Pemimpin harus melakukan kontrol secara ketat. Untuk tingkat kesiapan R2, bawahan mungkin memiliki keinginan tetapi tidak dapat memegang tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas secara langsung, mereka membutuhkan arahan dan dukungan. Secara ringkas hubungan antara gaya dan kesiapan dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3
Kesesuaian Antara Gaya (Style = S) dan Kesiapan (Readiness = R)
dalam Model Hersey

Readiness Style Penjelasan
R1 Unable and unwilling or unsecure S1 HT/LR Berikan instruksi yang spesifik dan supervisi secara ketat
R2 Unable but willing or confident S2 HT/HR Jelaskan keputusan dan berikan kesempatan untuk memberi kan penjelasan
R3 Able but unwilling or unsecure S3 HR/LT Berbagi ide dan fasilitasi bawahan dalam mengambil keputusan
R4 Able and willing or unsecure S4 LR/LT Berikan tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan penerapannya
Berdasarkan pendekatan gaya kepemimpinan apapun dapat dipergunakan selama sesuai dengan kondisi bawahan. Untuk itu syarat penting untuk dapat melaksanakan kepemimpinan secara efektif untuk model ini adalah mengenali bawahan secara baik.
Pemimpin merupakan bagian manajemen yang memiliki hubungan intensif dengan pelaksana operasional. Perannya sebagai jembatan atas kepentingan manajemen dan kondisi pekerja membuatnya berada pada posisi yang sulit. Untuk itu perlu keterampilan melakukan kepemimpinan yang efektif agar apa yang menjadi harapan manajemen dapat dipenuhi oleh pekerja, sehingga kualitas dan produktivitas organisasi dapat dicapai.
Dalam Rumah sakit penghargaan terhadap kemanusiaan menjadi lebih penting, karena perawat sebagai pelaksana fungional rumah sakit merupakan ujung tombak pelayanan, yang dapat memberikan citra bagi rumah sakit. Perawat perlu mendapatkan perlakuan yang baik dan memuaskan. Hanya mereka yang telah merasa puas akan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pasiennya. (Anwari, 2001)
Motivasi: Perangkat Analisis untuk Para Manajer S D M
Anwari, Pemerhati sosial-ekonomi, & penyunting buku di Pustaka LP3ES, Indonesia.
Ternyata, motivasi merupakan sebuah “hukum besi” bagi kelangsungan hidup setiap organisasi bisnis. Bagaimana tidak? Kita tidak mungkin menafikan kenyataan bahwa apa pun orientasi yang inherent dengan keber-adaan sebuah organisasi bisnis sangat mustahil mengabaikan pentingnya motivasi itu.
Setiap organisasi bisnis harus mampu menyusun sebuah kerangka yang tepat bagaimana sebaiknya motivasi itu diberlakukan pada setiap individu yang terlibat di dalamnya. Secara skematik, motivasi lalu menjadi tugas kepemimpinan di mana jajaran pemimpin mengkonsep-tualisasi dan sekaligus mengimple-mentasi motivasi itu untuk seluruh jajaran karyawan, pegawai dan terhadap sumber daya manusia (SDM) yang bertugas di berbagai lini. Realitas ini bahkan telah membentuk sebuah postulat: pencapaian tujuan-tujuan organisasi melalui mobilisasi sumber daya manusia antara lain ditentukan oleh ketepatan dalam menyusun kerangka motivasi itu.
Hingga pada perkembangan mutakhir ilmu dan teknologi, di mana perkembangan ilmu dan teknologi tersebut menjadi faktor diterminan bagi terjadinya perubahan dan perkembangan organisasi, posisi strategis motivasi ternyata tidak pernah surut. Begitu pun dengan kian berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi serta kian luasnya otomatisasi administrasi di perkantoran-perkantoran modern, tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mendesak ke pinggir pentingnya motivasi itu. Kian meluasnya aplikasi komputer yang berakibat pada munculnya pola hubungan kerja yang bersifat dispersonal dalam organisasi, malah memperbesar kecenderungan untuk melakukan perjumpaan face to face secara lebih intensif. Dalam konteks yang demikian itulah, motivasi benar benar mengemuka sebagai katalis yang mempersambungkan hubungan batin, emosional, profesionalitas dan intelektualitas antara jajaran pemimpinan dan karyawan dalam sebuah organisasi.
Kita juga tidak bisa menafikan argumen yang menyatakan bahwa efektivitas kepemimpinan dalam organisasi antara lain dapat dilihat dari kemampuan jajaran kepemimpinan memberikan motivasi kepada para pegawai pada umumnya. Dari motivasi itulah, pegawai atau lapisan SDM pada seluruh lini organisasi diarahkan untuk menjalankan perannya secara optimal. Motivasi dengan demikian merupakan sebuah metode bagaimana pegawai dan SDM pada setiap lini organisasi ditangani secara tepat oleh jajaran kepemimpinan demi mencapai tujuantujuan organisasi.
Pengertian motivasi dapat ditelusuri dari dua jurusan, yaitu dari pengertian sempit leksikal dan dari pengertian secara longgar yang banyak diungkapkan dalam literatur manajemen. Secara leksikal, pengertian motivasi antara lain muncul dalam International Dictionary of Management, di mana motivasi diartikan sebagai: Process or factors that cause people to act or behave in certain ways. To motive is to induce someone to take action. The process of motivation consists of: a identification or appreciation of an unsatisfied need; b the establishment of a goal which will satisfy the need; and c determination of the action required to satisfy the need.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka motivasi kerja tidak hanya muncul atas alasan kebutuhan ekonomis semata dalam bentuk uang. Banyak orang yang dengan suka hati bekerja terus sekalipun orang-orang tersebut sudah tidak lagi membutuhkan uang dan materi. Secara psikologis ini dapat dijelaskan bahwa orang semacam ini ganjaran yang paling “manis” dari bekerja ialah nilai sosial, dalam bentuk penghargaan, respek dan kekaguman kawan-kawan terhadap dirinya. Penjelasan lain terhadap kenyataan ini ialah bahwa untuk beberapa orang bekerja merupakan kanalisasi bagi dorongan pemuas Ego, melalui kekuasaan dan aktivitas menguasai orang lain. Hanya saja, bagaimana pun, tetap harus digarisbawahi bahwa motivasi merupakan salah satu aspek dari kerja yang hadir bersama-sama dengan aspek lain untuk menciptakan nilai kerja.
Dalam pengertiannya yang lebih longgar, motivasi mengacu pada sebab-sebab munculnya sebuah perilaku, seperti faktorfaktor yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dari sini lalu muncul perluasan makna tentang motivasi, di mana motivasi lalu diartikan sebagai kehendak untuk mencapai status, kekuasaan dan pengakuan yang lebih tinggi. Bagi setiap individu, motivasi justru dapat dilihat sebagai basis untuk mencapai sukses pada berbagai segi kehidupan melalui peningkatan kemampuan, pelatihan dan perluasan pengetahuan. Sehingga motivasi (bahasa Latin motivus=alasan-alasan untuk bergerak atau motus) merupakan hal mendasar dalam kehidupan manusia. Namun pernyataan bahwa motivasi merupakan hal mendasar dalam kehidupan manusia itu tidaklah berarti membuat setiap manusia memiliki motivasi yang tinggi untuk, katakanlah, berprestasi. Pada kasus per kasus kehidupan individu, motivasi bisa saja berhenti sebagai sebuah kekuatan laten yang tersembunyi yang membutuhkan manifestasi atau potensi yang masih membutuhkan aktualisasi. Pada individu semacam inilah motivasi masih perlu digerakkan oleh kekuatan-kekuatan lain di luar sang individu itu sendiri. Termasuk kekuatan lain itu adalah pemimpin dan kepemimpinan.
Sumber: Kartini Kartono (1985), disistimatisir
Nilai Kerja untuk Menciptakan Prestasi
1. Proses atau faktor yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan dengan cara-cara tertentu. Memotivasi maksudnya mendorong seseorang mengambil tindakan tertentu. Proses motivasi terdiri dari: identifikasi atau apresiasi kebutuhan yang tidak memuaskan; menetapkan tujuan yang dapat memenuhi kepuasan; dan menyelesaikan suatu tindakan yang dapat memberikan kepuasan.
Dari asal kata motivus dan motus itu pula lahir berbagai frase pengertian seperti motive power, motive force, automotive dan lain-lain. Juga menurut The New Encyclopaedia Britanica, sebelum sampai abad ke-20 “motivasi” belum masuk ke dalam perbendaharaan disiplin ilmu filsafat dan psikologi. Hal itu terbutki pada belum munculnya kata motivasi dalam Dictionary of Philosophy and Psychology yang diterbitkan pada tahun 1911.
Di kalangan ahli psikologi sudah lama muncul pertanyaan: (1) Mengapa seorang manusia melakukan suatu tindakan tertentu seorang diri?; (2) Mengapa manusia memilih tindakan-tindakan tertentu di antara berbagai alternatif tindakan yang tersedia? dan (3) Mengapa individu tertentu lebih termotivasi untuk melakukan sesuatu dibandingkan dengan individu yang lain?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut lantas lahir dua penjelasan yang bersifat teoritik. Penjelasan pertama menyebutkan adanya mekanisme internal dalam diri individu, di mana dari dalam diri seorang individu memang sudah terdapat motivasi yang besar untuk melakukan sesuatu guna mencapai keberhasilan-keberhasilan yang juga besar. Penjelasan kedua adalah berkaitan dengan adanya stimuli atau rangsangan eksternal yang membuat seorang individu termotivasi melakukan sesuatu untuk tujuan sukses dan keberhasilan. Di sinilah kepemimpinan dibutuhkan. Mereka hanya menyebut ciri-ciri adanya motivasi yang dikelompokkan ke dalam tiga domain penting, yaitu “intensitas perilaku” (intensity of behavior), “arah perilaku” (direction of behavior) dan “dorongan pengalaman dalam berperilaku” (reinforcement of learned behavior). Intensitas perilaku dalam hal ini dapat dilihat pada level excitement atau pada level aktivitas tertentu berkenaan dengan jumlah aktivitas yang dilakukan seperti berpikir secara keras tentang suatu hal.
Arah perilaku yang dimaksudkan di sini ialah adanya stimuli-respon dari kenyataan eksternal menuju diri seseorang. Pokok persoalannya di sini ialah bagaimana perubahan kondisi internal seseorang terjadi setelah adanya stimuli eksternal itu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan dorongan pengalaman dalam berperilaku tak lain adalah akumulasi pengalaman yang kemudian dijadikan referensi untuk menciptakan motivasi-motivasi tertentu. Suatu catatan penting dikemukakan bahwa teori-teori motivasi sebenarnya sudah dipikirkan baik oleh Plato maupun Aristoteles ke dalam suatu taksonomi yang disebut “psikologi hedonisme”. Motivasi yang kemudian melahirkan tindakan, menurut teori ini, bergantung pada konsekuensi menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan. Teori ini kemudian disistimatisir secara lebih sungguhsungguh oleh seorang pemikir Perancis Claude-Adrien HelvĂ©tius pada abad ke-8 dan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-19. Teori psikologi hedonisme ini mengasumsikan bahwa tingkah laku manusia sebenarnya satu tingkat lebih tinggi dari tingkah laku binatang, sehingga manusia pun condong untuk menghindari berbagai perilaku yang berdampak tidak menyenangkan bagi dirinya. Ketika pada abad ke-19 Charles Darwin menampilkan teori evolusi sebagaimana ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal, The Origin of Species, maka teori tentang motivasi manusia dengan mengambil anologi motif perilaku binatang itu kian mengemuka. Di sini lalu kian jelas bahwa hal yang menyenangkan merupakan sesuatu yang dapat diterima dalam adaptasi biologis, sedangkan yang tidak menyenangkan adalah yang ditolak. Tentu saja, teori ini memiliki sejumlah kelemahan tatkala dengan sungguh-sungguh dipakai sebagai pisau analisis membedah motivasi-motivasi yang tumbuh dalam diri individu-individu yang hidup pada situasi sangat kompleks.
Tindakan-tindakan heroik atau kepahlawanan seseorang yang justru memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menegakkan keadilan jadi tidak diperhitungkan sebagai motivasi dalam hal ini. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Tindakan-tindakan heroik seseorang sampai pada derajat pengorbanan secara fisik, yang jelas-jelas tidak menyenangkan itu, justru lahir dari adanya motivasi yang amat luhur demi memperjuangkan nilai-nilai kemanusian dan keadilan. Kematian sebagai konsekuensi tindakan heroik itu bukanlah peristiwa konyol, seperti yang dengan gamblang dilihat oleh teori psikologi hedonisme.
Barangkali karena kelemahan inilah Edward L. Thorndike pada tahun 1898 merumuskan sebuah teori yang disebut the law of effect, yang menyatakan bahwa kemunculan hedonisme membutuhkan apa yang disebut kondisi instrumental. Menurut teori ini berbagai macam respon yang muncul dalam situasi yang sama dan diiringi oleh kepuasaan, akan cenderung terjadi secara berulang sampai berbagai hal yang tak menyenangkan diadaptasi menjadi hal yang menyenangkan. Pada dasarnya, the law of effect ini direkonstruksi sebagai sebuah teori untuk menolak adanya penjelasan yang bersifat psedo berkenaan dengan peristiwa, penamaan dan proses belajar memberikan respon yang dengan serta merta disebut “memuaskan” atau “menyenangkan”. Agaknya, teori inilah yang dapat menjelaskan fenomena orang gila kerja (work-alcoholic) yang banyak bermunculan dewasa ini, di mana seseorang yang menghabiskan waktu dan energinya untuk bekerja dan terus bekerja ditimpali oleh perasaan senang yang luar biasa.
Ditinjau dari pemikiran-pemikiran filosofis, pembicaraan tentang motivasi dihubungkan dengan filsafat perenial tentang kepentingan, khususnya berkenaan dengan etika dan falsafah kesadaran (the philosophy of mind). Tinjauan filosofis ini menegaskan bahwa telah sejak lama manifestasi moralitas pada realitas kehidupan berwujud besarnya motivasi yang dimiliki seseorang yang kemudian menghantarkan orang tersebut melakukan sesuatu yang baik dan benar. Dengan kata lain, upaya untuk mencapai prestasi yang gemilang telah memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar. Sehingga kalau pun motivasi itu muncul sebagai bagian dari hedonisme, di dalamnya tetap terdapat etika, yakni etika hedonisme.
Ekstrapolasi dalam bentuk lain berkenaan dengan motivasi itu dikemukakan oleh Michael Morgan, melalui tulisannya yang berjudul “Motivational Processes” yang mengadopsi pemikiran Jerzy Konorski, menarik kesimpulan bahwa mekanisme respon dalam proses motivasi bisa sangat beragam, bergantung pada begitu banyak faktor. Adanya stimuli-stimuli eksternal yang dengan mudah dapat difungsikan sebagai motivasi serta ada juga yang sebaliknya. Pandangan ini terutama berkaitan dengan adanya interaksi dalam situasi yang sangat kompleks. Ini berarti implementasi motivasi oleh jajaran kepemimpinan memang harus dirancang dengan baik dan didasarkan pada pemikiran pemikiran strategis mengapa, kapan, bagaimana dan di mana motivasi itu harus dilaksanakan. Motivasi dengan demikian bukanlah pekerjaan sambil lalu tanpa kejelasan konsep dalam pelaksanaannya. Ini sama saja artinya dengan reengineering organisasi dengan menempatkan motivasi sebagai faktor penentu yang penting dan menentukan.
Bagi para manajer, perspektif motivasi yang dikemukakan di atas penting untuk dijadikan pedoman dalam memahami makna sesungguhnya dari motivasi itu. Oleh karena motivasi ini terkait dengan eksistensi manusia dalam sebuah organisasi, maka sudah selayaknyalah analisis manajemen tentang motivasi itu dicobakaitkan dengan berbagai pandangan filosofis tentang manusia. Sehingga berbagai pola dan desain yang secara khusus dirancang untuk memberikan motivasi kerja dalam sebuah organisasi, sepenuhnya dilandaskan pada upaya sungguh-sunguh untuk menghargai manusia dalam organisasi yang lazim kita sebut sebagai karyawan atau pegawai.
Juga berdasarkan perspektif yang dikemukakan di atas, maka berikut ini akan dikemukakan pemikiran para tokoh perumus teori motivasi. Uraian berikut ini juga sekaligus untuk menunjukkan dan sekaligus untuk membuktikan betapa pentingnya motivasi itu telah sejak lama menjadi perhatian para ahli ilmu-ilmu sosial.
Frederick Herzberg bersama kawan kawannya pada akhir dekade 1950-an, menerbitkan buku berjudul The Motivation to Work. Bersamaan dengan itu Herzberg pun dikenal sebagai tokoh empirisis, mengingat hampir semua pembahasan teoritiknya tentang motivasi kerja didasarkan pada riset-riset empirik di lapangan, terutama riset-riset empirik yang ia lakukan di Amerika Serikat selama kurun waktu akhir dekade 1950 hingga awal dekade 1960-an.
Pada dasarnya, Herzberg mengidentifikasi adanya seperangkat kondisi ekstrinsik yang mempengaruhi berbagai pelaksanaan tugas dalam pekerjaan. Jika kondisi ekstrinsik ini tidak ada, maka motivasi sulit terbentuk di kalangan karyawan dan pekerja pada umumnya. Namun dalam studinya itu Herzberg juga berhasil menguak kondisi-kondisi intrinsik yang berhubungan erat dengan motivasi serta terkait dengan tingkat produktivitas seseorang dalam lingkungan tempatnya bekerja. Herzberg melukiskan semua ini sebagai dua keadaan yang melingkupi kehidupan para pekerja, akibat tuntutan akan adanya hal-hal yang bersifat ekstrinsik maupun intrinsik. Keadaan di mana para pekerja tidak puas karena absennya kondisi ekstrinsik yang ternyata lebih bersifat “material”. Sedangkan adanya motivasi kerja yang dipicu oleh siatuasi intrinsik itu dalam wujud “immaterial” oleh Herzberg diistilahkan sebagai satisfiers atau motivator.
Herzberg’s Two-Factory Theory Disatisfier or Hygenics Satisfier or Motivators diantaranya adalah: Salary, Achievement, Job Security, Recognition, Working Condition, Responsibility, Status, Advancement, Company Policies and Procedures, Nature of Work Content, Quality of Technical Supervision, Potential for Individual Growth, Quality of Interpersonal Relationship
Baik dissatisfiers atau hygenics di satu pihak dan satisfiers atau motivator di lain pihak merupakan domain penting yang inherent dengan faktor-faktor terciptanya motivasi. Bertitiktolak dari hasil penelitian secara empirik, hal yang pertama merupakan faktor-faktor dinamik yang pada pembicaraan sebelumnya ditengarai sebagai stimuli-stimuli dari luar diri individu agar sang individu memberikan respon dengan melakukan sesuatu hal sesuai dengan arah motivasi. Sedangkan pada yang kedua, motivasi justru muncul dari dalam diri setiap individu itu sendiri.
Dari teori Herzberg ini dapat dijelaskan bahwa karyawan yang kesadaran eksistensialnya masuk ke dalam kategori disatisfier atau hygenics hanya mau melakukan sesuatu bila terdapat iming-iming materi. Atau dengan kata lain, iming-iming materi ini merupakan hal paling mendasar bagi seorang karyawan untuk termotivasi menjalankan perannya secara optimal dalam sebuah organisasi. Sabaliknya dalam kategori satisfier atau motivators, motivasi yang besar untuk bekerja dengan baik muncul dari dalam diri seorang karyawan tanpa terlalu memandang penting iming-iming yang bersifat materi. Ini semacam elan vital yang memang bersemayam dalam diri seseorang karena, misalnya, sang karyawan menganggap bekerja keras setara nilainya dengan beribadah kepada Tuhan.
Memang dalam perkembangan teori motivasi kerja di kemudian hari banyak kritik yang dialamatkan pada Herzberg. Kritik itu antara lain mencakup terbatasnya sampel dalam penelitian-penelitian empirik yang dilakukan Herzberg. Dengan sampel yang terbatas itu ia lalu melakukan generalisasi terhadap semua situasi. Dalam banyak hal, teori yang dikemukakan Herzberg dianggap terlalu oversimplifikasi terhadap semua kasus. Kritik lain yang dilontarkan terhadap Herzberg ialah bahwa teori yang dikemukakan itu lebih berat dideterminasi oleh metodologi yang dikembangkan. Dalam melakukan penelitian Herzberg mendatangi sekelompok akuntan dan insinyur untuk mengetahui faktor ketidaksukaan dan kesukaan mereka terhadap pekerjaan yang mereka hadapi setiap hari. Pilihan terhadap akuntan dan insinyur itu dianggap sebagai suatu masalah, oleh karena kesukaan maupun ketidaksukaan itu bisa saja timbul oleh alasan-alasan kultural dan bukan terutama karena kategorisasi profesi.
Namun bagaimana pun, terlepas dari berbagai kelemahan teoritiknya itu, Herzberg telah memberikan kontribusi bagi upaya-upaya penyusunan teori motivasi. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Herzberg telah berhasil memformulasikan sebuah teori umum (the general theory) tentang dua perangkat sebagaimana diilustrasikan dalam Tabel 1 di atas. Dengan perangkat ini, setiap manajer dalam perusahaan-perusahaan atau setiap pemimpin dalam sebuah organisasi terbantu untuk mengetahui apakah pegawai yang dibawahinya berada dalam mainstream dissatisfiers atau satisfiers dalam proses motivasi. Para manajer dan para pemimpin terbantu dalam hal ini bahwa penelitian untuk keperluan penyusunan pola motivasi kerja haruslah mencari fakta-fakta kecenderungan pegawai apakah masuk dalam kategori dissatisfiers atau satisfiers.
Abraham Harold Maslow adalah seorang ilmuwan sosial yang dikenal sebagai ahli psikologi perkembangan. Ia lahir di New York City, AS, pada 1 April 1908 dan meninggal di Menlo Park, California, AS, pada 8 June 1970. Di AS dan di dunia ia dikenal karena berhasil merumuskan teori psikologi tentang aktualisasi diri (self-actualization theory of psychology) yang sarat dengan argumentasi bahwa hal utama dalam psikoterapi ialah keharusan untuk mengintegrasikan segala sesuatunya dengan tujuan-tujuan kehidupan manusia yang ia istilahkan sebagai selfgoal. Maslow juga seorang yang menjadi terkenal karena bukunya yang menggegerkan: Motivation and Personality (1954) dan Toward Psychology of Being (1962).
Dalam hubungannya dengan motivasi kerja, Maslow menyusun sebuah hierarki tentang kebutuhan manusia. Hierarki-hierarki itu dari tingkatannya yang paling bawah hingga pada tingkatannya yang paling atas meliputi kebutuhan fisik (physiological needs), kebutuhan keamanan (security needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan akan ego/kehormatan diri (ego or self-esteem needs) dan kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs). Jelas bahwa motivasi yang tumbuh dalam diri seseorang tergantung pada keberadaan seseorang dalam sebuah hierarki kebutuhan yang menyerupai anak tangga itu. Semakin tinggi keberadaan seseorang dalam hierarki tersebut, maka semakin tinggi pula motivasinya untuk melakukan hal-hal besar demi mencapai sebuah sukses dan prestasi. Para manajer dapat melihat hierarki kebutuhan ini pada setiap karyawan yang dibawahinya.
Model-model motivasi yang harus dikembangkan tentu saja menjadi sangat beragam antara satu karyawan dengan karyawan yang lain. Ini berarti tidak ada suatu postulasi yang bersifat generik dan berlaku untuk semua orang. Karyawan yang masih berada pada tingkatan pemenuhan kebutuhan fisik pola motivasinya tentu saja berbeda dengan karyawan yang sudah sampai pada tahap aktualisasi diri. Bagi mereka yang memiliki tingkat kebutuhan aktualisasi diri sangat besar, bekerja telah berubah menjadi sebuah kesenangan dan bekerja bukan lagi dirasakan sebagai sebuah beban. Namun dengan demikian berarti tugas besar dalam kepemimpinan ialah sejauhmana para pemimpin dalam suatu organisasi mampu memindahkan posisi mereka yang dipimpin itu, dari tahap hierarki yang rendah menuju hierarki yang tinggi. Pentingnya kerangka teoritik Maslow ini dengan sendirinya terletak pada formulasinya tentang motivasi yang sangat kentara didasarkan pada perspektif humaniter.
Yang benar-benar disentuh oleh teori Maslow adalah kepempimpinan, yaitu kemampuan dan kemauan para pemimpin mensejahterakan anak buahnya dan dengan sungguh-sungguh meniadakan eksploitasi dalam proses kerja. Dikemukakan oleh Siegel dan Lane bahwa “Maslow’s formulation was meant as a humanistic perspective on human motivation in general rather than the creation of emprically testable model.” Hanya saja sebuah catatan penting dikemukakan di sini bahwa tidak mudah mengaplikasikan teori yang dikemukakan Maslow itu. Sebab, kenyataan selalu menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi dan kepemimpinan berpegang teguh pada orientasi yang sangat berlebih-lebihan terhadap profit atau keuntungan dalam bentuk materi.
Realitas inilah yang secara terus menerus mereproduksi penindasan manusia (baca: pemimpin) kepada manusia lainnya (baca: karyawan). Teori motivasi yang dikemukakan V.H. Vroom pada dasarnya adalah motivasi dalam diri manusia yang ditentukan oleh adanya tiga faktor, yaitu:
Pertama, pencapaian tujuan dan penghargaan atas pencapaian tujuan tersebut haruslah bersifat individual. Inilah yang diistilahkan Vroom sebagai valency of the outcome.
Kedua, harus terdapat jaminan bahwa setiap peristiwa yang dilalui oleh seorang individu dalam organisasi diwadahi ke dalam suatu instrumen untuk mencapai valency of the outcome. Di sini, kata Vroom, dibutuhkan apa yang disebut “instrumentalitas”.
Ketiga, adanya keyakinan setiap individu bahwa upaya partikular macam apapun memperoleh perhatian yang seksama dari intrumentalitas itu. Kenyataan inilah yang oleh Vroom diistilahkan sebagai expectancy.
C. Hubungan Kepemimpinan Dengan Peningkatan Motivasi
Teori Vroom memperlihatkan bahwa individu-individu akan termotivasi jika mereka dapat melihat hubungan secara langsung antara upaya-upaya yang ia lakukan dengan kinerja yang dapat dicapai; di mana kinerja itu nota bene merupakan outcome dari tingginya nilai kerja yang diperoleh secara individual. Motivasi dapat dijalankan manakala manajemen mempersambungkan secara sungguh-sungguh expectancy, instrumentality dan outcome sekaligus. Karena itu, sekali yang muncul hanyalah instrumentality untuk sematamata mencapai outcome, maka dengan sendirinya sudah tidak ada kejelasan di antara ketiga faktor itu. Konsekuensinya, motivasi sulit untuk dapat dijalankan, apalagi dikembangkan. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ada baiknya kalau jajaran pimpinan dan manajer, utamanya dalam organisasi bisnis, mengadopsi teori Vroom itu untuk memotivasi karyawannya mencapai kinerja yang setinggi-tingginya. Hanya saja, masalahnya, tidak banyak organisasi yang sengaja dirancang bangun mengikuti setting teori Vroom.
Seperti masih tercermin dalam dinamika perekonomian Indonesia, organisasi ternyata masih cenderung centang-perenang secara tak beraturan dan sama sekali jauh dari harapan mampu mengkombinasikan expectancy (yang dimaksudkan dalam hal ini ialah optimisme, prospek, harapan dan keinginan), instrumentality (yang dimaksudkan ialah alat, metode, cara, mekanisme, media, pendekatan, dan agensi) dan outcome sekaligus (yang dimaksudkan ialah konsekuensi, efek dan dampak). Oleh karena itu, akan jauh lebih bermanfaat jika ada upaya untuk memberikan deskripsi teoritis tentang motivasi dengan harapan bahwa deskripsi teoritis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pisau analisis memecahkan masalah-masalah motivasi.
Uraian tentang teori motivasi yang dikemukakan di atas kita transendensikan sebagai teropong untuk melihat problema-problema besar yang dihadapi manajeman pada umumnya dan proses pelaksanaan motivasi pada khususnya, maka pimpinan dalam setiap organisasi sebenarnya telah memiliki cukup landasan teoritik. Kebutuhan yang sangat besar terhadap pelaksanaan motivasi kerja dalam organisasi seringkali malah menjebak para manajer merancang secara terburu-buru pola dan desain motivasi itu. Kenyataan inilah yang seringkali membuat motivasi tidak berfungsi secara optimal.
“Motivasi” yang dimaksudkan adalah motivasi kerja yang secara substansial memang dibutuhkan oleh setiap organisasi demi mencapai tujuan-tujuannya. Sebagai sebuah perspektif, motivasi kerja dapat dihubungan secara kuat dengan dinamika kepemimpinan pada sebuah organisasi. Mustahil membicarakan tentang adanya motivasi kerja tanpa terlebih dahulu memperhatikan kuatnya posisi kepemimpinan. Di satu sisi jajaran kepemimpinan dalam organisasi merupakan pihak yang paling otoritatif dalam menyusun dan melaksanakan motivasi itu. Di sisi yang lain, motivasi kerja merupakan kebutuhan yang selalu hidup penyala-nyala dalam diri para karyawan, pegawai dan pada jajaran SDM organisasi. Jadi dalam hal ini penulis cenderung untuk menyatakan adanya hubungan segitiga yang tak terpisahkan antara motivasi, kepegawaian dan kepemimpinan.
Gambar 1, memperlihatkan bagaimana hubungan segitiga itu terbentuk dan terpola. Pada puncak segitiga terdapat motivasi kerja, sedangkan pada kedua kaki segitiga masing-masing terdapat variabel kepegawaian dan variabel kepemimpinan. Secara keseluruhan dua variabel ini berada pada titik horizontal yang seimbang untuk membuktikan bahwa kepegawaian dan kepemimpinan sama-sama memiliki kedudukan yang penting dalam organisasi. Sedangkan di tengah -tengah segitiga itu terdapat tujuan-tujuan organisasi. Ini berarti jelas bahwa motivasi merupakan kekuatan yang dapat mempersambungkan hubungan secara utuh antara kepegawaian dan kepemimpinan.
Gambar 1.
Hubungan Segitiga
Motivasi, Kepegawaian dan Kepemimpinan
Motivasi





K e p e g a w a i a n K e p e m i m p i n a n

Tidak ada artinya kepegawaian tanpa kepemimpinan, begitu juga sebaliknya tak ada artinya kepemimpinan tanpa kepegawaian. Gambar 1 ini dengan sendirinya memperlihatkan kedudukan motivasi sebagai kekuatan perekat bagi terjadinya sinergi antara kepegawaian dan kepemimpinan. Penulis perlu mengemukakan hakikat motivasi seperti diilustrasikan pada Gambar 1 tersebut justru sebagai starting point untuk mengemukakan perspektif lain secara lebih luas.
D. Landasan Teori
Gibson et al. (1992) dalam model jalan-tujuan mengemukakan bahwa pemimpin yang efektif yaitu yang mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan kepuasan pekerja. Heresy dan Blanchard (1990) membagi gaya kepemimpinan atas empat katagori yaitu sifat pemimpin yang mempunyai kepemimpinan direktif, konsultatif, partisitatif dan delegatif.
Mengingat prestasi organisasi tergantung kepada prestasi individu, maka pemimpin harus memiliki pengetahuan yang lebih memadai tentang faktor yang menentukan prestasi individu. Pemimpin harus memperhatikan kebutuhan untuk belajar dan mengetahui tentang karakteristik individu, karena motivasi individu (individual motivation) dan kemampuan bekerja mempengaruhi motivasi bekerja. (Gibson dan Donnelly, 1985)
E. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini yang akan dinilai korelasinya adalah antara gaya kepemimpinan dengan motivasi kerja. Variable moderator yang tergambar dalam garis putus-putus tidak dinilai.

F. Hipotesis
Dari telah pustaka yang telah diuraikan diatas efektifitas gaya kepemimpinan dan motivasi kerja sangat dipengaruhi oleh persepsi karyawan. Hipotesis penelitian adalah: ada hubungan yang segnifikan antara gaya kepemimpinan dan motivasi kerja, yang dimoderasi oleh karakteristik individu antara lain: status kepegawaian (PNS atau Non PNS), masa kerja, jabatan, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengalan antre BBM

SEHARUSNYA INSENTIF

ANALISA INSTRUKSIONAL