SUBSIDI ITU BINATANG APA????

Subsidi dan contervailing merupakan salah satu issu yang merupakan permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan perdagangan internasional dan ketentuan itu juga menjadi pembahasan terakhir GATT/WTO dalam perundingan Uruguay Round.
Countervailing duties (CVDs) aka Anti-subsidy are trade import duties imposed under WTO Rules to neutralize the negative effects of subsidies. They are imposed after an investigation finds that a foreign country subsidizes its exports, injuring domestic producers in the importing country. According to World Trade Organization rules, a country can launch its own investigation and decide to charge extra duties, provided such additional duties are in accordance with the GATT Article VI and the GATT "Agreement on Subsidies and Countervailing Duties".
Since countries can rule domestically whether domestic industries are in danger and whether foreign countries subsidize the products, the institutional process surrounding the investigation and determinations has significant impacts beyond the countervailing duties.
Countervailing duties in the U.S. are assessed by the International Trade Administration of the U.S. Department of Commerce which determines whether imports in question are being subsidized and, if so, by how much. If there is a determination that there is material injury to the competing domestic industry, the Department of Commerce will instruct U.S. Customs and Border Protection to levy duties in the amount equivalent to subsidy margins.
Petitions for remedies may be filed by domestic manufacturers or unions within the domestic industry, however the law requires that the petitioners represent at least 25% of the domestic production of the goods for which competition is causing material injury.
Aturan main dalam subsidi diciptakan untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam praktek perdagangan internasional (unfair practice). Dalam teks aslinya: unfair practice  adalah: any practice in business involving the general public or competing parties that is prohibited by statute and regulated by an appropriate government agency.
Aturan tersebut ditujukan kepada timbulnya peningkatan daya saing yang berlebihan akibat adanya subsidi pemerintah. Berbeda dengan aturan dalam anti-dumping (yang juga merupakan ketentuan untuk mencegah unfair practice tetapi yang dilakukan oleh perusahaan),aturan dalam subsidi ditujukan kepada unfair practice yang dilakukan pemerintah..
Subsidi adalah suatu pemberian (kontibusi) dalam bentuk uang atau finansial yang diberikan oleh pemerintah atau suatu badan umum (public body). Kontribusi pemerintah tersebut dapat berupa antara lain, penyerahan dana secara langsung seperti hibah, pinjaman, dan penyertaan, pemindahan dana atau jaminan langsung atas hutang: hilangnya pendapatan pemerintah atau pembebasan fiskal (seperti keringanan pajak); penyediaan barang atau jasa diluar prasarana umum atau pembelian barang; pemerintah melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan atau memberikan otorisasi kepada suatu badan swasta untuk melaksanakan tugas  pemerintah dalam hal penyediaan dana. Disamping hal tersebut, semua bentuk income dan price support juga merupakan subsidi apabila bantuan tersebut menimbulkan suatu keuntungan.
Namun demikian, tindakan konkret untuk mengkompensasikan dampaknya, dalam contervailing duty, seperti juga halnya anti-dumping terhadap duty yang diterapkan dumping, ditujukan terhadap produk yang memperoleh unfair advantage tersebut. Sebagai konsekuensi, inside dari tindakan balsan tersebut ditujukan terhadapat perusahaan yang memperoleh subsidi karena countervail yang dikenakan akan mempunyai dampak langsung terhadap perusahaan yang memperoleh subsidi.
Bagi Negara berkembang, karena dana yang tersedia untuk subsidi tidak besar, maka disiplin di bidang subsidi, kecuali dalam hal-hal tertentu, tidak merupakan beban. Bagi Negara maju yang mempunyai kemampuan anggaran yang lebih besar, beban unutk memberi subsidi lebih ringan. Disiplin dibidang subsidi dapat mengurangi timbulnya sengketa alkibat persaingan yang tidak sehat melaui “perang subsidi”. Subsidi yang sifatnya meluas menimbulkan distorsi. Apabila barang yang menikmati subsidi semakin membanjiri pasar-pasar internasional  maka produsen yang Negara yang tidak memberi subsidiakan tersingkir dalam persaingan. Karena itu Negara berkembang mempunyai kepentingan jangka panjang untuk mencegah agar subsidi export Negara maju tidak merebut pasaran Negara berkembang di negara ketiga.
Subsidi banyak digunakan pemerintah suatu Negara sebagai instrument dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, baik dalam rangka pengembangan suatu industri maupun meningkatkan daya saing export. Secara teoritis memang subsidi adalah the second alternative, setelah tariff, sebagai suatu instrument kebijaksanaan perdagangan luar negeri.namun pemberian subsidi kepada suatu idustri dalam negeri dapat mengurangi daya saing barang import sejenis yang kemungkinan bisa berasal dari industri yang sebenarnya lebih efisien. Di sampinfg itu, subsidi yang diberikan untuk meningkatkan daya saing suatu barang eksport akan mepengaruhi daya saing barang sejenis yang dihasilkan dari negara pengimport.
Dengan Demikian subsidi menerapkan tindakan yang dapat berdampak negative terhadap efisiensi perdagangan internasional. Karena itu GATT mengatur bentuk subsidi yang diperbolehkan, serta mengatur tata cara untuk melakukan investigasi dan menemukan atruan main untuk menangkal import barang yang menerima jenis subsidi yang melanggar aturan GATT.
Dalam GATT terdapat aturan permainan yang mengatur disiplin di bidang subsidi karena subsidi dalam bentuk tertentu langsung mempunyai dampak langsung terhadapt pola persaingan dan dapat menimbulkan keadaan yang tidak adil. Sebagai catatan dapat ditambahakan masalah subisdi yang dianggap dramatis adalah di bidang pertanian. Karena itu, masalah subsidi di bidang pertanian dirundingkan dalam forum sendiri, mengingat kompleknya masalah yang tersangkut.
Aturan permainan dalam GATT mengenai subsidi diatur dalam Pasa; XIV. Lebih jauh lagi, aturan main di bidang subsidi juga diatur dalam perjanjian Tokyo Round dalam bentuk Code yang merupakan upaya penyempurnkan aturan yang telah tercantum dalam GATT tersebut. Namun demikian, dalam aturan Tokyo Round terutama dalam aspek yang menyangkut countervailing measure ada keterkaitan antara ketentuan mengenai countervailing measure terhadap subsidi dan anti-dumping.
Aturan permainan lebih jauh dimuat dalam perjanjian hasil Tokyo Round merinci lebih jauh apa yang telah terurai dalam GATT. Namun Code hasil dari Tokyo Round hanya belku untuk Negara yang menjadi anggota perjanjian GATT yang menandatangani Code tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani Tokyo Round Code di bidang subsidi.
B. SUBSIDI
Seperti disebutkan diatas bahwa subsidi merupakan salah satu issu utama dalam sangkut pautnya dengan perdagangan internasional. Subsidi peranannya sangat diperlukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam peraturan GATT.
Pengertian dari subsidi sendiri adalah setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan, industri, eksportir atau setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan eksport atau menurunkan import dari atau ke negara yang berkembang.
Sedangkan menurut perjanjian subsidi yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Agrement on subsidies and Countervalling Measures, subsidi adalah kontribusi financial yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah atau badan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah yang melibatkan penyerahan dana secara langsung (misalnya hibah, pinjaman, dan penyertaan) kemungkinan pemindahan dan atau kewajiban secara langsung (misalkan jamnan utang) atau pendapatan pemerintah yang seharusnya sudah dibayar menjadi hapus atau tidak ditagih (misalkan intensif fiscal seperti keringanan pajak) atau penyediaan barang oleh pemerintah selain infrastruktur umum atau pembelian barang atau pembayaran oleh pemerintah pada mekanisme pendanaan, disamping semua bentuk income dan free support juga merupakan subsidi bila tindakan itu menguntungkan.
http://www.wto.org/english/tratop_e/scm_e/subs_e.htm
Perjanjian subsidi membagi subsidi ke dalam tiga kategori
1. Subsidi yang dilarang (Prohibited Subsidies)
Yaitu subsidi-subsidi baik dalam peraturan perundang-undangan atau dalam kenyataan yang dilaitkan dengan kinerja eksport, atau subsidi yang dikaitkan sebagai persyartan tunggal atau sebab beberapa persyaratan lain, dengan maksud mendahulukan barang-barang dalam negeri di atas barang barang import. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan distorsi perdagangan internasional dan menggangu perdagangan lain. Tindakan pemberian subsidi ini dapat dibawa ke Dispute Setlement Body (DSB) WTO. Jika DSB memutuskan bahwa subsidi yang diberikan termasuk ke dalam subsidi yang dilarang maka negara tersebut diharuskan untuk segera mencabut aturannya mengenai subsidi. Jika tidak dipatuhi maka negara penggugat boleh melakukan tindakan imbalan (countervailing measures) karena akan  merugikan industri domestic.
2. Subsidi yang dapat ditindak (Actionable Subsidies)
Suatu negara harus dapat membuktikan bahwa subsidi terhadap produk export yan gdilakukan negara lain telah merugikan kepentingan negara pengimpor. Kalau tidak dapat dibuktikan maka subsidi tersebut dapat diteruskan. Kerugian tersebut dibagi dalam tiga jenis : kerugian yang dialami oleh industri domestic, kerugian yang dialami oleh negara lainnya yang menjadi korban dalam kompetisi antara negara lainnya yang bersaing di pasar negara ketiga dan kerugian yang dialami oleh pengexpor karena negara pengimport menerapkan subsidi domestic. Jika DSB WTO memutuskan bahwa subsidi yang diberikan memberikan efek negative maka subsidi tersebut harus dihapuskan
3. Subsidi yang diperbolehkan (Non Actionable Subsidies)
Subsidi yang termasuk di sini adalah subsidi non spesifik, subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan kegiatan pengembabgan, subsidi unutk daerah miskiny ang terbelakang dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi terhadap peraturan mengenai lingkungan atau hukum baru. Subsidi jenis ini tidak dapat diajukan ke DSB WTO dan tidak dapat dikenakan imbalan.
Subsidi eksport adalah pembayaran oleh pemerintah suatu negara perusahaan untuk setiap produk yang dipasarkan ke luar negeri. Subsidi umum digunakan, negara-negara selalu melakukan keinginan mereka untuk melakukan subsidi dalam perdagangan dengan alasan dan propaganda dalam menunjang exsport dan melindungi tenaga kerja, meskipun pada kenyataannya terdapat jalan lain untuk mencapai tujuan tersebut. Kendati subsidi ini menguntungkan bagi negara yang melakukan import karena harga komoditas yang murah, namun juga mempunyai efek negative pada distribusi pendapatan. Ketika terjadi penurunan harga pada konsumen, subsidi itu telah menjatuhkan tenaga kerja dan kerugian dalam persaingan industri dengan adanya subsidi eksport.
C. COUTERVAILING MEASURE
Countervailing measure merupakan tindakan konkret untuk mengkompensasikan dampak dari subsidi yang dilakukan oleh negara pengexport terhadap barang yang diexsport, dalam contervailing duty, seperti juga halnya anti-dumping terhadap duty yang diterapkan dumping, ditujukan terhadap produk yang memperoleh unfair advantage tersebut. Countervailing Duties tidak dapat diterapkan kecuali apabika terbukti impor barang yang disubsidi tersebut menimbulkan atau ditafsirkan akan menimbulakan injury.
Sebagai konsekuensi, inside dari tindakan balsan tersebut ditujukan terhadapat perusahaan yang memperoleh subsidi karena countervail yang dikenakan akan mempunyai dampak langsung terhadap perusahaan yang memperoleh subsidi
D. PENGATURAN DALAM GATT/WTO
1. Pengaturan  mengenai subsidi
Aturan mengenai subsidi dan tindakan imbalan sebenar adalah salah satu 6 aturan pokok yang dihasilkan Tokyo Round. Ketentuan ini dikenal sebagai subsidies code.
Sidang-sidang Negasiation Group tentang subsidi dan countervailing measure yang diselenggarakan pada mula-mulanya lebih banyak memusatkan perhatian kepada identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan aturan-aturan GATT tersebut. Kelompok ini telah berhasil membuat draff agreement yakni Agrement (1990) in interpretation and application of article VI, XVI and XXIII of general agreement on tarifft.
Artikel VI mengatur mengenai Anti-dumping and Countervailing Dutiens, artkel XVI mengatur mengenai Ketentuan yang mengatur bahwa jika suatu negara memberikan subsidi atau masih mempertahankan kebijakan subsidi termasuk memberikan bantuan pendapat dan harga (income and price support) yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau mengurangi impor harus dimotifikasikan terlebih dahulu ke GATT/WTO, artikel XXIII mengatur mengenai Ketentuan mengenai prosedur konsultasi dan cara penyelesaian sengketa  (Consultation – pasal XXII  dan Nullification or impairment.
Draff agreement on subsidies and countervailing measure akhirnya disetujui oleh semua pihak dalam perundingan Uruguay Round ditujukan unutk meyempurnakan Agrement  in interpretation and application of article VI, XVI and XXIII yang dikenal sebagai Subsidies code, yang dihaslkan dalam perundignan Tokyo Round. Teks perjanjian ini berbeda dengan Subsidies Code sebelumnya. Sealain mempertegas definisi mengenai subsidi perjanjian ini juga memperkenalkan konsep specific subsidy yaitu suatu subsidi yang tersedia hanya untuk perusahaan atau industri atau kelompok perusahaan atau industri dalam wilayah negara yang memberikan subsidi. Hanya subsidi-subsidi specific ini yang menjadi sasaran bebrbagai disiplin yang ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian menentukan tiga kategori subsidi yang menjadi perhatian yaitu prohibited subsiy, actionable subsidy dan non actionable subsidy.
Kategori pertama adalah prohibited subsidy. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah
  1. subsidi yang menurut ketetnuan formal atau menurut kenyataan baik semata mata atau sebagai satu dari beberapa pernyataan lainnta, mengandung pernyataan yang berkaitan dengan export performance dan
  2. subsidi yang tujuannya, baik semata-mata atau sebagain salah satu persyaratannya adalah keharusan penggunaan produk domestik
Dalam ketetnuan mengenai prohibited subsidy apabila terjadi pelanggaran penanganaanya menggunakan prosedur penyelesaiaan sengketa baru yang disetujui dalam Uruguay Round termasuk ketentaun megenai waktu 90 hari bagi Committe on Subsidies and Countervailing Measure untuk bertindak. Bila committe ini menentukan agas subsidi dilarang, maka committee harus merekomendasikan agar subsidi itu segera dicabut. Bila recomendasi itu tidak diikuti, committee memberikan otorisasi kepada pihak yang mengadu untuk mengambil tindakan pengimbang (countervailing measure) untuk mengimbangi dampak subsidi yang merugikan.
Katergori kedua dikenal sebagai actionable subsidies. Perjanjian menentukan bahwa subsdi yang
  1. menimbulkan kerugian bagi industri domestic dari anggota lainnya
  2. menimbukan penghilangan atu perusakan dari keuntungan yang timbul secara langsung maupun tidak langsung bagi anggotanya lainnya berdasarkan General Agrement khususnya keuntungan dari konsesi yang sudah terikat
  3. menimbulkan serius prejudice terhadap kepentingan anggota lainnya, harus dikenakan batasan agar kerugian di pihak laindapat diatasi
Dalam aturan ini serius prejudice tersebut diduga terjadi apabila jumlah dari subsidi adalah valorem yang diberikan kepada suatu produk melebihi 5%. Para anggota yang terkena dampak dari actionable subsidies dapat mencari jalan perbaikannya (remedy) melalui Committe. Commite diberikan waktu 120 hari untuk melaporkan kesimpulannya mengenai sengketa yang meliputi masalah subsidi jenis ini.
Kategori ketiga adalah jenis subsidi yang dinamakan non-actionable subsidies. Yang termasuk subsidi jenis pengertian ini adalh subsidi yang tidak spesifik maupun yang spesifik termasuk bantuan untuk penelitian dan pengembangan (researchand development) atau bantuan untuk pembangunan wilayah-wilayah yang terbelakang (dis advantaged regions). Apabila anggota la yakin bahwa terdapat penyalahgunaan subsidi jenis ini yang menyebabkan dampak negative terhadap suatu jenis industri domestic di wilayahnya maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukannya sebagai suatu kasus Committe
2. Pengaturan mengenai Countervailing Measure
Perjanjian juga menentukan aturan main mengenai penggunaaan tindakan countervailing terhadap barang-barang impor yang disubsidi. Bagian ini mementukan aturan-aturan mengenai inisiasi dari kasus-kasus countervailing, penyidikan atau investigasi oleh pihak otorita nasional dan aturan-aturan pembuktian untuk menjamin bahwa semua pihak yang berkepentingan daapt menyampaikan informasi dan argumennya.
Aturan-aturan tentang perhitungan penentuan jumlah suatu subsidi harus digunakan sebagai dasar unutk penetapan kerugian yang diderita oleh industri domestic. Di samping  itu, perjanjian tersebut menentukan bahwa semua factor ekonomi yang relevan harus masuk dalam penilain keadaan industri yang tersangkut serta mengharuskan adanya hubungan kualitas antara impor yang disubsidi dengan kerugian yang diderita.
Investigasi untuk melakukan tindakan countervailing harus dihentikan seketika dalam hal nilai subsidi diperoleh hanya mencapai jumlah minimal atau ketentuan de minimis bila volume atau kerugian yang diderita tidak cukup berarti dan dapat diabaikan (subsidi kurang dari 1% secara valoren). Kecuali dalam keadan tertentu, investigasi harus diselesaikan dalam waktu satu tahun setelah tanggal inisiasi dikeluarkan. Seluruh bea countervailing (countervailing duties) yang dikenakan harus harus dihentikan dalam 5 tahun sejak tanggal dikenakannya, kecuali bila pihak otorita memutuskan bahwa berdasarkan hasil peninjauan  (review) terdapat alasan yang kuat (good couse) unutk melanjutkan penerapan countervailing.
Teks perjanjian mengakui bahwa subsidi dapat memainkan peranan yang penting dalam program pembangunan ekonomi dari negara-negara berkembangn dan negara-negara yang sedang melakukan peralihan dari ekonomi perencanaan atau sosialis (centrally-planned economies) kepada ekonomi pasar (market economies). Negara-negara berkembang (development countries) dan negara-negara yang terbelakang (leat-development countries) yna gmemiliki GNP per-kapita kurang dari U$$ 1.000 dikecualikan dari aturan-aturan tentnag prohibited subsidies. Untuk negara-negara berkembang lainnya, aturan-aturan tersebut akan berlaku 8 tahun setelah tanggal diberlakukannya (entry into force) perjanjian ini. Negara-negara tersebut harus secara bertahap menghapuskan susbsiidi eksportnya selama periode yang sama.
Investigasi untuk menerapkan countervailing measure terhadap suatu produk yang berasal dari suatu negara berkembang harus diakhiri bila tingkat subsidi leseluruhannya tidak melebihi 2% dari nilaiproduk tersebut, atau bila volume impor yang disubsidi menunjukan angka kurang dari 4% daripada jumlah import unutk produk sejenisnya dari negara pengimpor. Untuk negara-negara yang sedang berada dari proses peralihan dari centrally planned economieis ke arah ekonomi pasar, prohibited subsidies harus dihapus secara berthap dalam kurun waktu 7 tahun terhitung sejak tanggal diberlakukannya Agrement ini
Ringkasan hasi perundingan Uruguay Round tentang Subsidies.
  1. Definisi subsidi yang dapat dikenakan countervailing measure, lebih sempit daripada yang terdapat pada aturan AS.
  2. Countervailing Duties tidak dapat diterapkan kecuali apabika terbukti impor barang yang disubsidi tersebut menimbulkan atau ditafsirkan akan menimbulakan injury.
  3. Dalam menentukan injury otorita pelaku investigasi dapat menghitung dampak kumulatif akibat import yang dating lebih dari satu negara.
  4. Dalam kasus tertentu, wilayah negara pengimpor dapat memisahkan teritorinya ke dalam beberapa pasaran untuk menetukan injury.
  5. Berbeda dengan ketentuan AS perjanjian menetukan bahwa countervailing duties hendaknya lebih rendah dari jumlah subsidi yang diestimasi, apabila injury terhadap industri domestic dapat diatasi dengan duty yang lebih rendah tersebut sudah cukup mengatasi.
  6. Perjanjian menentukan adanya prosedur yang memungkinkan pihak konsumen dan pemakai produk yang sedang dalam investigasiagar dapat mengemukakan pandangannya.
  7. Perjanjian menentukan bahwa countervailing duties dibatasi 5 tahun, kecuali apabila terbukti masih perlu diteruskan.
  8. Anti circumvention dapat diterapkan melaui countervailing duties terhadap bagian suatu produk yang memperoleh subsidi.
BAGAIMANA SUBSIDI DALAM PANDANGAN ISLAM
Pengantar
Istilah subsidi sangat akrab di telinga kita. Namun, meski akrab, kata ini kurang bersahabat. Masalahnya, yang sering kita dengar justru Pemerintah akan mencabut subsidi suatu barang atau jasa dengan macam-macam dalih sehingga harganya naik. Walhasil, rakyat tidak makin sejahtera, tetapi malah makin sengsara.
Mengapa pencabutan subsidi menjadi kebijakan favorit Pemerintah untuk mengurangi beban anggarannya? Bagaimana pandangan Islam seputar subsidi? Tulisan ini mencoba menjawabnya.
Pengertian dan Fakta Subsidi
Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan (financial assistance; Arab: i’anah maliyah), yang biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya. Istilah subsidi dapat juga digunakan untuk bantuan yang dibayar oleh non-pemerintah, seperti individu atau institusi non-pemerintah. Namun, ini lebih sering disebut derma atau sumbangan (charity). (http://en.wikipedia.org). Subsidi dapat juga berbentuk kebijakan proteksionisme atau hambatan perdagangan (trade barrier) dengan cara menjadikan barang dan jasa domestik bersifat kompetitif terhadap barang dan jasa impor (ibid.)
Dalam sistem Kapitalisme, subsidi merupakan salah satu instrumen pengendalian tidak langsung. Grossman dalam Sistem-Sistem Ekonomi (1995) menerangkan bahwa dalam sistem Kapitalisme terdapat dua macam pengendalian ekonomi oleh pemerintah, yaitu pengendalian langsung dan tidak langsung. Pengendalian langsung adalah kebijakan yang bekerja dengan mengabaikan mekanisme pasar, contohnya embargo perdagangan dan penetapan harga tertinggi suatu barang. Adapun pengendalian tidak langsung adalah kebijakan yang bekerja melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta segala macam pajak dan subsidi. (Grossman, 1995).
Subsidi dapat dikategorikan dengan berbagai macam cara, bergantung pada alasan di balik subsidi, pihak penerima, dan sumber pembiayaan subsidi (bisa dari pemerintah, konsumen, penerimaan pajak, dll). (http://en.wikipedia.org).
Dalam RAPBN-P 2008, secara garis besar ada dua subsidi, yaitu subsidi energi dan subsidi non-energi. Subsidi energi meliputi subsidi BBM dan listrik. Subsidi non-energi meliputi delapan jenis subsidi, yaitu subsidi pangan (beras untuk orang miskin), subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi public service obligation (untuk PT Kereta Api Indonesia, PT Pelni, dan PT Pos Indonesia), subsidi bunga kredit program (bunga dibayar pemerintah), subsidi bahan baku kedelai, subsidi minyak goreng (operasi pasar), dan subsidi pajak (pajak ditanggung pemerintah). (Nota Keuangan & RAPBN-P 2008, III-4)
Subsidi dalam Kapitalisme
Subsidi terkait dengan persoalan peran negara dalam ekonomi, terutama dalam pelayanan publik (public service). Karenanya, sikap Kapitalisme terhadap subsidi berbeda-beda, bergantung pada konsep peran negara menurut aliran Kapitalisme yang dianut. Secara sederhana dapat dikatakan pandangan Keynesian yang pro-subsidi berbeda dengan pandangan aliran neo-liberal yang anti-subsidi.
Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat diterapkan Kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya, The Wealth of Nations (1776). Slogan berbahasa Prancis itu Inggrisnya adalah leave us alone. Artinya, “Biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah.” Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar (Great Depression) di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929. (Adams, 2004).
Sejak 1930-an, Kapitalisme berganti aliran. Kapitalisme liberal yang anti intervensi pemerintah kemudian berganti menjadi Kapitalisme Keynesian, dengan momentun program The New Deal oleh Presiden Franklin D. Roosevelt tahun 1933. Disebut Kapitalisme Keynesian karena mengikuti ide John Maynard Keynes (1883-1946) yang mendorong intervensi pemerintah dalam bukunya, The General Theory of Employment (1936).
Antara 1930-an hingga 1970-an, Kapitalisme Keynesian ini menjadi basis dari welfare state (negara kesejahteraan) yang memberikan porsi besar pada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi (termasuk subsidi dari pemerintah). Karena itu, Kapitalisme Keynesian dapat dikatakan bersikap pro-subsidi.
Namun, tahun 1973 ketika harga minyak dunia naik, timbul persoalan ekonomi di Barat yang tidak dapat diatasi oleh Kapitalisme Keynesian, yaitu stagflasi. Ini kombinasi antara pengangguran (stagnasi) dengan kenaikan harga (inflasi). Menurut doktrin Keynesian, kedua problem ini tidak mungkin terjadi bersamaan. Masyarakat dapat mengalami salah satunya, tetapi tidak kedua-duanya. Kekecewaan terhadap Keynesian inilah yang mendorong upaya pencarian solusi baru.
Lahirlah Kapitalisme aliran neo-liberal (neoliberalisme/neokonservatisme), dengan penggagas utamanya, Friedrich Hayek dan Milton Friedman.
Neoliberalisme adalah versi liberalisme klasik yang dimodernisasi, dengan tema-tema utamanya adalah: pasar bebas, peran negara yang terbatas dan individualisme. Karena peran negara terbatas, maka neoliberalisme memandang intervensi pemerintah sebagai “ancaman yang paling serius” bagi mekanisme pasar. (Adams, 2004).
Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa pencabutan subsidi sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, sebab subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sikap neoliberalisme pada dasarnya adalah anti-subsidi. Ini karena menurut neoliberalisme, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi. (http://id.wikipedia.org).
Dalam skala internasional, neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya: WTO, IMF dan Bank Dunia. Bank Dunia dan IMF terkenal dengan program SAP (Structural Adjustment Program) yang berbahaya, yang salah satunya adalah penghapusan subsidi. (Wibowo & Wahono, 2003; The International Forum on Globalization, 2004).
Hegemoni neoliberalisme inilah alasan prinsipil yang dapat menjelaskan mengapa Pemerintah kita sering mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat, seperti subsidi BBM dan listrik. Alasan ideologis inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya yang bersifat teknis-ekonomis, misalnya alasan bahwa subsidi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi dan sebagainya. Ini semua bukan alasan prinsipil. Alasan prinsipilnya adalah karena Pemerintah tunduk pada hegemoni neoliberalisme, atau telah mengadopsi neoliberalisme, yang berpandangan bahwa subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah yang hanya akan mendistorsi mekanisme pasar.
Subsidi dalam Islam
Islam berbeda dengan Kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.
Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004: 119).
Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.
Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)
Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).
Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).
Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.: 73). Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59] : 7).
Nabi saw. telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249). Karenanya, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.
Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004). Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar’i. Wallahu a’lam. [KH Shiddiq al-Jawie]

Daftar Pustaka
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-’Adalah al-Ijtima’iyah fi Dhaw‘ al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, www.saaid.net, 2004.
Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Penerbit Qalam), 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi al-Islam, Cetakan VI, (Beirut: Darul Ummah), 2004.
Ebenstein, William & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Today’s Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta: Penerbit Erlangga), 1994.
Grossman, Gregory, Sistem-Sistem Ekonomi (Economics Systems), Penerjemah Anas Sidik, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995.
Nota Keuangan dan RAPBN-P 2008.
Syauman, Naimah, Al-Islam bayna Kaynaz wa Marks wa Huquq al-Insan fi al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.
Thabib, Hamad Fahmiy, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra‘sumaliyah al-Gharbiyah, (t.tp: t.p), 2004.
The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does Globalization Help the Poor?), Penerjemah A. Widyamartaya & AB Widyanta, ( Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas), 2004.
Wibowo, I. & Wahono, Francis (Ed.), Neoliberalisme, ( Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas), 2003.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, Cetakan III, ( Beirut : Darul Ummah), 2004.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengalan antre BBM

SEHARUSNYA INSENTIF

ANALISA INSTRUKSIONAL